REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Manshuri
Siapakah yang dinamakan rakyat itu? Dalam dunia politik, wabil khusus ketika sedang terjadi perebutan kekuasaan, tampaknya masing-masing pihak yang terlibat-baik yang sedang berkuasa maupun yang ingin merebut kekuasaan (oposisi)-sangat suka menggunakan kata rakyat. Atau, lebih tepatnya mereka mengklaim apa yang mereka lakukan adalah atas nama rakyat atau untuk kepentingan rakyat. Di sinilah rakyat seolah menjadi barang dagangan. Rakyat menjadi komoditas para politikus.
Sama halnya yang dilakukan militer Mesir yang bekerja sama sangat apik dengan kelompok oposisi ketika menggulingkan Presiden Mursi pada 3 Juli. Kudeta militer untuk mencopot Mursi dari jabatan presiden, membubarkan Majelis Syuro (MPR), dan membatalkan Konstitusi Negara, mereka bungkus rapi dengan istilah 'mengikuti kehendak rakyat banyak'. Padahal, Mursi dan anggota Majelis Syuro terpilih dalam pemilu yang sangat demokratis. Begitu juga Konstitusi Negara yang telah memperoleh suara mayoritas dalam sebuah referendum yang bersih. Artinya, Mursi menjadi presiden setahun lalu, dipilih oleh mayoritas rakyat.
Kini, tiba-tiba kelompok oposisi pendukung kudeta militer, sebagaimana ditulis Aljazirah.net, menyatakan apa yang dilakukan militer bukan kudeta, melainkan 'mengikuti kehendak rakyat' yang mereka sebut sebagai 'legalitas rakyat di jalanan' (Syar'iyatus Syari'). Yang mereka sebut terakhir ini tidak lain 'aksi unjuk rasa' yang dilakukan kelompok oposisi pada 30 Juni, tiga hari sebelum penggulingan Mursi.
Untuk mendukung demokrasi 'legalitas rakyat jalanan', kelompok oposisi lalu bermain-main dengan angka. Pada awalnya, mereka mengatakan demonstrasi akan diikuti oleh ribuan, kemudian jutaan. Berikutnya, mereka mengatakan angka 17 juta, lantas 30 juta, dan terakhir mereka mengatakan yang berdemo menentang Mursi berjumlah 40 juta. Bila angka terakhir ini benar, jumlahnya sudah melebihi separuh dari mereka yang berhak mengikuti pemilu atau hampir setengah dari jumlah penduduk Mesir yang berjumlah 82 juta.
Namun, bagaimana mengukur besaran atau jumlah peserta demonstrasi? Apalagi, bila jumlahnya mencapai puluhan juta?
Guna memperkuat angka yang disebut para tokoh oposisi tadi, militer Mesir menyertakan pesawat helikopter untuk mengantarkan seorang fotogragfer dan seorang cameraman memotret aksi-aksi unjuk rasa dari udara.
Hasil gambar dan video ini lalu digandakan dan didistribusikan ke sejumlah media internasional yang bersiaran secara langsung. Dalam gambar dan video yang dibagikan itu, memang tampak jumlah pendemo yang sangat besar, terutama yang dilakukan kelompok oposisi. Tapi, tulis Aljazirah.net, ada keanehan dalam video dan foto-foto itu. Sejumlah gambar ternyata diambil dari aksi demo kelompok pendukung Mursi. Sejumlah gambar lainnya diambil dari pengunjuk rasa besar ketika menjatuhkan Presiden Husni Mubarak pada 25 Januari 2011.
Menurut analisis Middle East Monitor (Memo) yang memantau aksi unjuk rasa besar-besaran kelompok oposisi pada 30 Juni, satu meter persegi tidak akan bisa memuat lebih dari empat pendemo. Berdasarkan data ini, dua lokasi demo oposisi di Lapangan Tahrir dan depan Istana Al Ittihadiyah,tidak akan bisa memuat lebih dari 632 ribu pendemo. Atau, kalau diambil angka optimistis, kedua tempat itu paling banyak hanya bisa menampung satu hingga dua juta orang, apabila ditambah dengan sejumlah pendemo di tempat lain. Pertanyaannya, tulis Memo yang dikutip Aljazirah.net, bagaimana jumlah pendemo bisa mencapai 30 juta atau bahkan 40 juta orang?
Sumber-sumber di militer dan sejumlah oposisi yang diwawancara BBC (Inggris) membantah kalau data itu bersumber dari mereka. Tapi, meski membantahnya, dalam berbagai kesempatan mereka-baik militer maupun oposisi-selalu mengulang-ulang tentang jumlah pendemo yang menuntut penggulingan Presiden Mursi sebesar lebih dari 30 juta orang. Tampaknya, mereka sudah belajar bahwa kebohongan yang disampaikan berkali-kali, lama-lama akan menjadi suatu kebenaran yang dipercaya masyarakat.
Permainan otak-atik angka itu juga menunjukkan adanya konspirasi antara militer dan kelompok oposisi untuk menggulingkan presiden yang memperjuangkan nilai-nilai Islam itu. Menurut media Amerika, The Wall Street Journal (TWSJ), sejak beberapa bulan lalu telah muncul skenerio yang dibuat oleh oposisi dan militer untuk menggulingkan Mursi. Skenerio itu dibuat dan dimatangkan dalam pertemuan para pemimpin oposisi dan sejumlah komandan militer secara rutin. Dalam pertemuan terakhir pada Juni lalu di Club Perwira, disepakati militer akan memaksa melengserkan Mursi apabila oposisi mampu menggerakkan aksi unjuk rasa yang cukup memadai. Di antara yang hadir dalam pertemuan itu, sebut TWSJ, adalah para tokoh kunci oposisi. Mereka adalah Mohammad Al Baradai, Amr Musa, dan Hamdin Shabahi.
Pertemuan oposisi dan militer itu juga melibatkan rezim fulul (orang-orang Husni Mubarak). Yang terakhir ini bertugas menyediakan dana dan aksi-aksi premanisme terhadap pendukung Presiden Mursi. Termasuk, serangan dan pembakaran terhadap kantor Ikhwanul Muslimin beberapa hari sebelum penggulingan Mursi. Anehnya, tulis TWSJ, ketika terjadi pembakaran sepertinya ada pembiaran dari pihak militer dan aparat keamanan lainnya.
Menurut Aljazirah.net, jumlah pengunjuk rasa pendukung Mursi bisa jadi lebih besar dari jumlah pendemo dari kelompok oposisi. Tapi, siapa peduli? Bagi politikus kotor dan rakus kekuasaan, ini menurut saya, rakyat tampaknya hanyalah komoditas. Rakyat hanyalah barang dagangan untuk meraih kekuasaan. Rakyat adalah otak-atik angka. Jumlah yang miskin dan rentan miskin sekian. Jumlah kelas menengah sekian, dan sebagainya. Setelah kekuasaan diraih, masa bodoh dengan nasib rakyat.