REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Asma Nadia
Dalam sebuah rapat orang tua dan sekolah tentang persiapan UN untuk anak SMA di Bulan Februari 2014, salah satu orang tua protes karena anaknya yang sudah kelas dua belas atau 3 SMA dan akan menghadapi UN di bulan April, masih disibukkan berbagai kegiatan yang sama sekali tidak penting.
Saya teringat di saat bersamaan, sulung kami yang juga akan menghadapi UN harus mengikuti latihan drama sebagai bagian dari tugas yang berpengaruh terhadap nilai kesenian. Ia dan teman-teman sempat stres mempersiapkan tugas tersebut. Waktu belajar UN beberapa hari tersita hanya karena kesibukan yang tidak prioritas. Saya memahami keluhan dari sesama orang tua, yang saya yakin cukup mewakili kecemasan orang tua lain.
Sayang sekali, bukannya sadar akan inti keluhan orang tua, sang kepala sekolah justru memperjelas kenapa anak-anak sekarang sibuk dengan kegiatan kesenian, olah raga dan lainnya. Intinya untuk nilai rapor yang juga mendukung kelulusan anak. Awalnya saya berharap keluhan orang tua akan membuat pihak sekolah sadar prioritas hingga lebih baik mempersiapkan anak didik untuk UN dan test masuk ke perguruan tinggi.
Lalu bagaimana sekolah harus mengisi nilai olahraga, kesenian, dan lainnya yang tidak masuk dalam mata pelajaran yang akan diujikan nasional? Seharusnya jika beberapa pelajaran itu selama ini memang wajib ada dalam kurikulum, lebih baik dihilangkan saja pelajaran tersebut di semester terakhir, bahkan kalau perlu di dua semester terakhir, mengingat urgensinya rendah terkait UN dan persiapan perguruan tinggi. Tapi kalau untuk itu harus mengubah kurikulum, dan kurikulumnya juga tak mau diubah, akan lebih baik jika sekolah memberlakukan formalitas untuk nilai tersebut, karena bukan prioritas. Misal menugaskan para murid bernyanyi lalu diberi nilai, tanpa perlu membuat paduan suara.
Minta anak-anak berlari untuk dinilai. Tidak usah menyewa lapangan, renang berbagai gaya, karena seharusnya hal tersebut hanya sampai di kelas dua SMA saja. Tidak usah membebani. Karena prioritas siswa di tahun terakhir SMA adalah mendapat nilai UN sebaik mungkin, mempersiapkan diri mereka masuk universitas sebagus mungkin. Kalau kurikulum tidak sadar prioritas maka sekolah harus sadar prioritas. Kalau sekolah juga tidak sadar, maka orang tua dan anak yang harus menentukan prioritasnya.
Sayang, sekalipun demikian sampai 1 bulan menjelang UN masih banyak sekolah yang tidak menyadari prioritas. Akhir Maret 2014, anak saya yang sebulan lagi akan menghadapi UN masih disibukkan dengan test renang dan bulu tangkis. Padahal keesokannya ada try out untuk tingkat sekolah, lalu kabupaten dan provinsi.
Apakah pihak sekolah tidak melihat kemungkinan mereka cedera karena olahraga, atau hal lain yang bisa membahayakan anak di satu bulan menjelang UN? Saya sendiri sebagai orang tua punya kebijakan menghadapi pendidikan yang tidak sadar prioritas. Pertama, orang tua harus menentukan prioritas buat anak-anaknya. Kalau sekolah tetap membebani anak dengan kesenian, olah raga dan berbagai kegiatan tidak terkait UN, biasanya saya mengatakan pada ananda untuk tidak perlu terlalu fokus pada kegiatan dan mata pelajaran lain. Yang penting nanti hasil UN baik dan ananda bisa masuk ke perguruan tinggi yang diinginkan.
Bahkan sejak dini saya sudah menanamkan pada anak untuk bisa memilih prioritas dalam hidupnya Ketika SD saya katakan pada mereka, "Nikmati saja hidup selama 5 tahun tidak usah mati-matian belajar. Pendidikan itu penting tapi pendidikan bukan cuma sekolah. Ada kursus musik yang bisa digeluti, olahraga yang bisa ditekuni, ada juga hobi, nikmati hidup. Nanti menginjak kelas 6 baru belajar habis-habiskan menghadapi UN dan untuk masuk ke sekolah favorit."
Ketika SMP dan SMA saya juga mengatakan hal senada. Bersama ayah mereka, kami bahkan ikut memilih mana pelajaran yang perlu dikuasai mana yang tidak. Saya tidak memarahi kalau ia luput dalam pelajaran yang kami sepakati tidak penting dalam kehidupannya. Tapi sama-sama bersepakat bahwa ketika kelas 3 ananda harus serius menyiapkan UN dan jenjang pendidikan lebih tinggi.
Lalu apakah anak saya berhasil? Peluangnya sama dengan mereka yang mati-matian belajar. Sama sama bisa berhasil atau tidak. Tapi yang jelas, di kala SD ananda kami insya Allah lebih bahagia 5 tahun dari kebanyakan anak lain yang dipaksa belajar terus. Saat SMP - SMA bisa lebih bahagia dua tahun dari pada anak lain yang ngoyo di sekolah. Saya sebenarnya berharap dan berdoa agar pendidikan kita memiliki dan memahami prioritas, hal-hal mana yang harus diajarkan dan mana tidak.Mana yang penting mana yang tidak sehingga ananda kita kaya ilmu dan bahagia di saat bersamaan, serta tersiapkan dengan tepat untuk masa depannya.