Selasa 13 Jan 2015 12:22 WIB

Alquran, Umat Islam, dan Persaudaraan Universal (1)

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Saya tidak tahu apakah ada Kitab Suci selain Alquran yang siap untuk diterima atau ditolak dengan memanggil semua otak-otak besar yang pernah dikenal umat manusia sepanjang sejarah (lih. misalnya s. al-Baqarah: 23; s. al-Isrâ: 107). Tantangan ini akan berlaku sepanjang zaman sampai rapuhnya dunia ini. Dengan pengetahuan yang terbatas tentang Alquran, Resonansi ini akan mencoba mengurai tiga bahasan yang saling berkait itu sebagai bagian dari kegelisahan batin saya yang sudah dirasakan sejak masih kuliah di Universitas Chicago antara tahun 1979 s/d 1982.

Selama di Chicago alm. Fazlur Rahman telah membuka hati dan otak saya tentang makna Alquran bagi umat Islam dan kemanusiaan seluruhnya. Salah seorang mantan mahasiswanya di Chicago, Prof. Frederick Danny, menulis tentang Rahman: “His mind changed, his position evolved but his central coordinate was always the Qur’an.” (Mindanya berubah, posisinya berkembang tetapi koordinat/titik perhatian? utamanya tetaplah Alquran). Bagi Rahman, Alquran punya pandangan dunia tertentu yang utuh-komprehensif, oleh sebab itu pendekatan yang serba ad hoc tidak akan menyingkapkan pandangan dunia itu secara adil. Tuan dan puan yang ingin mengenal pandangan Rahman tentang Alquran setidak-tidaknya dapat diikuti melalui karya pengantarnya: Major Themes of the Qur’an (terbit pertama kali tahun 1980). Perbincangan tentang karya ini telah dilakukan oleh banyak pihak, bisa ditelusuri via Google.      

Semakin lama, beban batin terasa semakin berat, sedangkan jalan keluarnya sebenarnya sudah tampak, tetapi selalu saja diterpedo oleh kenyataan pahit umat Islam yang masih saja berendam di dalamnya. Bermacam tafsir Alquran  telah saya baca, tetapi tetap saja menyisakan pertanyaan besar: mengapa Alquran yang begitu dimuliakan gagal difahami secara benar oleh umat ini untuk dijadikan pedoman hidup? Mengapa perintah-perintah utamanya yang sederhana dianggap angin lalu saja oleh umat yang mengaku beriman kepadanya? Pertanyaan semacam ini bisa sangat panjang, tetapi kita cukupkan dua saja dalam tulisan ini.

Kita pusatkan pembicaraan kita pada ayat 10 dan pada saatnya nanti akan dilanjutkan pula ayat 13 dari surat al-Ĥujurât (49), sebuah surat yang diturunkan di masa Madinah sekitar tahun sembilan hijriah (631 M). Ayat 10 yang terjemahan bebasnya adalah: “Sesungguhnya pilihan yang sah bagi orang-orang beriman itu adalah bersaudara. Maka oleh sebab itu damaikanlah antara dua saudara kamu [yang bertikai]. Dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu diberi rahmat.” Awal ayat ini menggunakan ungkapan innamâ yang dalam bahasa Arab bertujuan untuk membatasi (lilĥashr). Artinya dalam konteks ini, orang beriman itu hanya punya satu pilihan yang sah dalam hidup kolektif mereka: bersaudara. Titik!

Tetapi mengapa dalam berbagai periode sejarah bahkan sampai hari ini, umat Islam memilih jalan hidup yang tidak sah dengan sering bertikai dan berperang sesama mereka? Jawaban yang tersedia dalam hati saya adalah karena ego, kepentingan sesaat, dan hawa nafsu yang tak terkendali di kalangan sebagian umat. Manakala ego, kepentingan, dan hawa nafsu mengalahkan kekuatan firman Allah, berarti kita telah berkhianat terhadap Alquran, tetapi mengapa kita masih saja mengaku beriman kepada Kitab Suci ini? Tiga nilai buruk itu bisa saja dibungkus dalam selimut nasionalisme seperti yang sekarang berlaku antara Iran dan Saudi Arabia. Dalam kasus dua negara ini, yang dominan adalah sifat hegemonik, bukan karena perbedaan mazhab keagamaan.

Dalam skala yang lebih kecil, penyebab perbelahan antara partai-partai dan golongan-golongan Islam di Indonesia tidak akan jauh dari ketiga faktor di atas: ego, kepentingan, dan hawa nafsu. Ironisnya, semuanya ini tidak jarang ditutupi dengan dalil-dalil agama yang dikutip tanpa rasa tanggung jawab iman. Alangkah sulitnya menundukkan egoisme kepada kehendak wahyu. Jika wahyu tidak mampu lagi membimbing prilaku kolektif umat Islam, lalu apa lagi yang masih tersisa yang dapat dipedomani? Tidak ada lagi yang tersisa.         

Umat Islam yang sekarang jumlahnya sekitar 1,6 miliar di muka bumi adalah bagian dari kemanusiaan universal, tetapi perannya masih berada di buritan peradaban. Banyak faktor, internal dan eksternal, yang terlibat di dalamnya mengapa situasinya demikian menyedihan, apa pun ukuran yang dipakai orang untuk itu. Antara al-Qur’an dan umat Islam terbentang jurang yang lebar sekali. Sedikit contoh di atas telah menjelaskan apa yang kita maksud. Contoh lain bisa berjibun.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement