Oleh Selamat Ginting, Jurnalis Republika
Enam bulan ke depan hingga April 2019, menjadi waktu yang sangat kritis bagi persatuan bangsa. Masa kampanye pemilu, terutama pemilihan presiden 2019, cenderung menjadi ajang adu domba anak bangsa.
Menjadi pertarungan bersatunya glorifikasi dan demonisasi yang menghiasi ranah komunikasi.
Glorifikasi adalah sebuah aksi melebih-lebihkan sesuatu hingga terkesan hebat luar biasa. Sang figur digambarkan bagai orang yang sangat suci, sempurna bagai Malaikat tanpa cela.
Sedangkan demonisasi adalah sebuah aksi melebih-lebihkan keburukan atau kejahatan figur lawan. Sehingga figur lawan menjadi tampak buruk luar biasa, jahat sempurna, tidak ada sedikitpun kebaikannya. Bagaikan setan dari neraka jahanam.Anak bangsa akan dipermainkan dengan jenis komunikasi sampah.
Emosi para pendukung fanatik buta dipermainkan dan dipengaruhi. Tujuannya agar memuja sang capres secara berlebihan. Sebaliknya sangat membenci capres lainnya sebagai musuh yang najis untuk dipilih.
Kebencian meledak dari sanubari hingga ujung kepala. Mengapa? Karena anak bangsa sudah menjadi korban indoktrinasi. Tak peduli lagi bahwa mereka pernah satu sekolah, satu permainan, satu suku, satu agama, bahkan saudara satu ibu bapak.
Persetan untuk mendengarkan penjelasan dari pihak yang berbeda. Apalagi memahami alasan dibalik tindakannya. Kata-kata sang capres bagaikan mantera yang menghipnosis. Bagai firman suci yang harus diikuti pemeluknya.
Itulah taktik glorifikasi demonisasi yang membuat anak bangsa terindoktrinasi, karena minimnya pengetahuan apalagi ilmu pengetahuannya. Ilmu politik tidak tahu. Ilmu komunikasi apalagi. Ilmu logika jauh dari otak. Yang diketahuinya hanya
keburukan pihak yang berseberangan.
Pihak asing apalagi yang bermental kolonial, paling suka dengan strategi ini. Inilah devide et impera, adu domba. Bagai perang Barata Yudha, anak negeri asyik dengan kebodohan yang dilestarikan. Teramat sedih....!