Rabu 08 Oct 2014 14:00 WIB

Tercerabut dari Tanah Leluhur (2): Perlakuan Istimewa Petugas Imigrasi

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Delegasi sepuluh anggota DPR melakukan kunjungan ke Palestina, 19-24 September 2014, dipimpin Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq. Misi utama kunjungan ini menyampaikan dukungan Indonesia terhadap proses rekonsiliasi Palestina yang mulai berjalan. Namun, kunjungan hanya bisa ke Tepi Barat. Karena alasan keamanan, Pemerintah Mesir menolak permohonan delegasi untuk mengunjungi Jalur Gaza. Berikut laporan wartawan Republika Johar Arief yang mengikuti rombongan.

***

Bus besar yang membawa delegasi DPR hanya bisa mengantar hingga pos imigrasi Yordania. Begitu pun sejumlah staf protokoler Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yordania. Dari situ, tanpa pendamping, setelah pemeriksaan dokumen dan sejumlah koper bawaan, rombongan menumpang dua kendaraan minibus yang lebih kecil melintasi jalur demarkasi menuju pos imigrasi Israel.

Menurut staf KBRI, bus pariwisata yang membawa kami dari Amman tidak bisa melintas ke Tepi Barat karena tidak didaftarkan oleh perusahaannya ke otoritas keamanan Israel di perbatasan. Kami diberi tahu bahwa sebuah bus lainnya telah menanti di ‘seberang’, lengkap dengan pemandu yang bisa berbahasa Indonesia.

Perjalanan melintasi jalur demarkasi ditempuh sekitar 15 menit. Wilayah tak bertuan ini memanjang mengikuti aliran Sungai Yordan. Tak lama setelah melintasi Jembatan Raja Hussein di atas Sungai Yordan, minibus yang kami tumpangi mulai memasuki area pos imigrasi Israel. Pemeriksaan awal dilakukan terhadap kendaraan di pintu gerbang.

Tampak tiga orang menenteng senapan serbu berjaga-jaga. Dua di antaranya berseragam tentara, satu lainnya mengenakan pakaian sipil. Tampak pula satu petugas berseragam tanpa senjata.

Kendaraan kami berhenti di belakang sebuah bus. Di depan kami, seorang petugas berpakaian sipil dengan sigap menghunuskan senapan otomatisnya sebelum loncat memasuki pintu belakang bus untuk melakukan pemeriksaan di dalam kendaraan. Dari gayanya menghunuskan senjata, seolah dia bakal memergoki musuh di dalam bus.

Giliran kendaraan kami diperiksa. Petugas bersenjata hanya melongok melalui kaca untuk melihat situasi di dalam kendaraan. Seorang petugas lainnya, ditemani sopir, melakukan pemeriksaan bagasi belakang. Kami semua hening di dalam, berharap semuanya berjalan lancar. Tiba-tiba, "Gubrak!"

Kami terkejut. Pintu bagasi dengan kerasnya dibanting. Kami hanya saling memandang tanpa bersuara. Siapa yang berani protes. Kendaraan kami pun dipersilakan lewat.

Pos imigrasi Israel menempati area yang luas. Bangunan utama tempat pemeriksaan para pelintas tampak luas, dengan area parkir yang luas pula. Petugas menenteng senapan serbu bersiaga di beberapa penjuru. Sebagian berseragam militer, sebagian berpakaian sipil. Mereka semua mengenakan kacamata hitam.

Inilah pintu masuk utama ke Tepi Barat, dan pintu keluar satu-satunya bagi warga Palestina di Tepi Barat. Itu pun jika mereka diizinkan untuk keluar. Untuk meninggalkan Tepi Barat, warga Palestina tak diperkenankan melalui wilayah Israel.

Tak lama turun dari kendaraan, delegasi DPR disambut seorang petugas wanita kulit putih. Ia tampak masih muda, sekitar 25 tahun. Kedatangan kami tampaknya telah diantisipasi. Meskipun Indonesia tak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, untuk kunjungan delegasi DPR seperti ini, bukan tidak mungkin telah dilakukan komunikasi melalui jalur khusus dengan otoritas terkait.

Setelah berbincang dengan staf sekretariat DPR yang ikut rombongan, petugas wanita tadi mempersilakan kami berbaris di depan loket pemeriksaan dengan memegang paspor masing-masing. Kami agaknya mendapat perlakuan istimewa. Barisan kami didahulukan untuk dilayani, memotong antrean para pelintas lainnya yang mengular di depan loket.

Ada dua loket pemeriksaan paspor yang kami lalui. Sebuah stiker merah beraksara Ibrani ditempel pada sampul paspor oleh petugas loket pertama. Setelah itu, kami diarahkan ke ruang tunggu. Di sini kami kembali mendapat perlakuan istimewa. Dua petugas imigrasi Israel menghampiri untuk membagi-bagikan sebotol air mineral dingin. Layanan ini tampaknya tak diberikan kepada pelintas lainnya.

Setelah menunggu sekitar setengah jam, kami diarahkan untuk berbaris di depan loket kedua. Di sini kami diberikan visa untuk mengunjungi Tepi Barat dan Yerusalem. Visa tersebut tidak ditempel pada paspor, tapi hanya berupa kartu kecil beraksara Ibrani.

Seluruh proses pemeriksaan terhadap rombongan berjalan relatif lancar, memakan waktu kurang dari dua jam. Namun, raut tegang tetap tak mampu kami sembunyikan sepanjang pemeriksaan, begitu pun anggota delegasi DPR.

Kami termasuk sedikit orang yang beruntung diizinkan masuk ke Tepi Barat. Setidaknya itu yang diutarakan Majdi, warga Amman yang memandu rombongan di Yordania. Majdi mengatakan, bagi warga Yordania, sulit sekali untuk mendapatkan izin ke Tepi Barat.

Dia sendiri belum sekali pun diizinkan masuk ke Tepi Barat untuk mengunjungi sanak saudara, walaupun telah berupaya berkali-kali. Banyak warga Yordania yang tak diizinkan Isarel masuk ke Tepi Barat untuk mengunjungi sanak saudara yang sakit keras. Inilah yang dialami keluarga pendatang Palestina di Yordania. Lebih setengah dari tujuh juta warga Yordania merupakan keluarga pendatang asal Palestina. Zionisme telah membuat mereka tercerabut dari tanah leluhur. n ed: nur hasan murtiaji 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement