Senin 24 Jun 2013 01:41 WIB
Verifikasi Calon Anggota DPD

Syarat Domisili DPD Rawan Digugat

KEDUDUKEDUDUKAN DPD. Gedung Dewan Perwakilan Daerah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Usai putusan MK, DPD kembali memiliki peran legislasi setara dengan DPR.
Foto: SETKAB.GO.ID
KEDUDUKEDUDUKAN DPD. Gedung Dewan Perwakilan Daerah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Usai putusan MK, DPD kembali memiliki peran legislasi setara dengan DPR.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengingatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar tidak mengabaikan verifikasi domisili calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pengabaian syarat anggota DPD berdomisili di provinsi asal dinilai berdampak pada gugatan pada kemudian hari.

Sekretaris Jenderal Mahkamah Konsitusi Janedjri M Gaffar mengingatkan putusan MK tentang Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 mengenai pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mensyaratkan anggota DPD harus berdomisili dari provinsi asal. Sayangnya, kata Janedri, KPU mengabaikan aturan itu dan mengacu pada UU No 8/2012 tentang Pemilu yang membebaskan domisili calon anggota DPD.

Menurutnya, hasil pemilu legislatif nanti sangat berpotensi bermasalah apabila penyelenggara pemilu tidak segera merevisi aturan tersebut. “Sangat besar peluangnya anggota DPD yang jadi nanti digugat akibat verifikasi domisili yang diabaikan KPU,” katanya, Ahad (23/6).

Ketua MK Akil Mochtar menilai, persoalan tersebut harus segera dicarikan solusi agar tidak terjadi kontroversi luar biasa ketika hasil penghitungan suara anggota DPD ditetapkan. Menurut Akil, syarat domisili calon anggota DPD diperlukan karena senator terpilih harus mengetahui daerahnya.

Sangat lucu, katanya, kalau seseorang bisa lolos mewakili provinsi tertentu, tapi selama ini tinggal dan besar di DKI Jakarta. “Meski pernah digugat, keputusan MK tetap seperti semula, mewajibkan syarat domisili.”

Akil tidak bisa memprediksi apakah kekisruhan calon anggota DPD itu bakal mencuat pada Pemilu 2014. Pasalnya, hingga kini, ia belum mengetahui berapa banyak calon DPD melanggar syarat domisili, namun tetap diloloskan KPU untuk ikut Pemilu Legislatif 2014. Hanya, kata dia, MK sudah memiliki pengalaman untuk menyidangkan persoalan itu.

Ia mengatakan, seseorang tidak bisa lagi memiliki kartu identitas ganda untuk menunjukkan lokasi tempat tinggalnya dengan adanya program KTP elektronik (e-KTP). Hal itu bisa dijadikan acuan MK, apakah calon anggota DPD memenuhi syarat domisili atau tidak. “Adanya e-KTP memudahkan MK untuk membuat keputusan substantif soal domisili itu,” katanya.

Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan, KPU mengacu pada Undang-Undang Nomor 8/2012 tentang Pemilu, sesuai dengan isi pasal dalam ketentuan penutup. Dalam ketentuannya, calon anggota DPD disyaratkan lebih luas, yaitu bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Tentu kami bersandar pada undang-undang yang terbaru,” katanya.

Ia mengatakan, dengan adanya UU Nomor 8/2012, peraturan sebelumnya, yakni UU Nomor 10/2008 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sehingga, menurut dia, untuk persyaratan domisili calon anggota DPD, KPU tidak merujuk pada undang-undang sebelumnya. “Jadi, mengapa mengikuti undang-undang yang tidak berlaku?” kata dia.

Sebelumnya, Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) I Wayan Sudirta mengeluhkan syarat domisili bagi calon anggota DPD dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu. Terlebih lagi, KPU tak mau menetapkan syarat kepemilikan kartu tanda penduduk (KTP) di provinsi berangkutan bagi calon anggota DPD sehingga seseorang dari satu provinsi bisa menjadi calon anggota DPD untuk provinsi lain.

Menurut Sudirta, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan frasa bertempat tinggal di wilayah NKRI dalam UU Pemilu harus dimaknai sebagai syarat domisili bagi anggota DPD yang hendak mencalonkan diri dari provinsi tertentu. Sayangnya, KPU tak menindaklanjuti putusan itu dengan aturan yang lebih membatasi.

Syarat calon anggota DPD sebagaimana ketentuan Pasal 12 huruf C Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum ialah bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Syarat itu persis dengan ketentuan UU Pemilu sebelumnya, yakni Pasal 12 huruf C Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD yang pernah digugat DPD ke MK.

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan frasa bertempat tinggal di wilayah NKRI dalam UU Pemilu harus dimaknai sebagai syarat domisili bagi anggota DPD yang hendak mencalonkan diri dari provinsi tertentu. Sayangnya, KPU tak menindaklanjuti putusan itu dengan aturan yang lebih membatasi.

Dia menjelaskan, dalam amar (perintah) putusannya, MK mengabulkan permohonan DPD dan perorangan anggota DPD. MK berkesimpulan bahwa syarat domisili di provinsi calon anggota DPD merupakan norma konstitusi yang implisit dalam Pasal 22C Ayat (1) UUD 1945. “Sehingga, seharusnya dimuat sebagai rumusan norma yang eksplisit dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD,” katanya. n erik purnama putra/irfan fitrat ed: muhammad fakhruddin

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement