REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG - Wakil Ketua DPR, Pramono Anung, mengatakan, pembahasan revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tetap akan dilakukan dengan mendengarkan suara publik. "Kami akan libatkan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Forum Rektor dalam proses pembahasan itu," katanya di Semarang, Selasa, menanggapi kajian ICW terkait upaya pelemahan pemberantasan korupsi dalam revisi UU Tipikor.
Usai memberikan kuliah umum bertema 'Manajemen Komunikasi Politik di Era Konvergensi' di Universitas Diponegoro Semarang itu, ia mengatakan, DPR saat membuat UU memang harus mendengar suara publik. Keduanya yakni ICW dan Forum Rektor, katanya, selama ini memiliki batas dan jarak terhadap korupsi, termasuk melakukan berbagai kegiatan terkait upaya pemberantasan korupsi.
"Mereka (ICW dan Forum Rektor, red.) selama ini juga selalu mengkritisi tindak korupsi. Karena itu kami akan melibatkan mereka dalam pembahasan revisi UU Tipikor," katanya.
Ia mengemukakan, salah satu problem utama Indonesia adalah permasalahan korupsi. Korupsi memperlemah daya tahan negara dan bangsa, termasuk terkait dengan perjuangan di kancah internasional. Upaya pelemahan terhadap langkah pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan UU Tipikor, katanya, turut memperlemah daya tahan bangsa Indonesia.
Ia mengharapkan, KPK tetap sebagai kekuatan untuk upaya pemberantasan korupsi, independen, dan tidak terkooptasi kekuasaan. Salah satu kritik terhadap KPK, katanya, yakni tidak boleh bersikap "tebang pilih" dan diskriminasi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Selama ini, katanya, KPK masih diskriminatif yang salah satunya ditunjukkan dengan menyoroti orang-orang di luar pemerintahan. "Contohnya, menteri-menteri begitu selesai langsung diproses oleh KPK. Padahal kasusnya terjadi saat yang bersangkutan menjabat di pemerintahan," kata Pramono yang juga politikus PDI Perjuangan itu. Pada saat yang sama, katanya, orang-orang di lingkaran pemerintahan yang korupsi justru tidak tersentuh KPK.