REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Setidaknya ada tiga prinsip pengendalian hama yang harus dilakukan untuk mengatasi serangan ulat bulu yang sempat marak di beberapa daerah. "Pertama menekan populasi agar tidak merugikan secara ekonomis tetapi bukan menghilangkannya, kedua bisa dilakukan dengan cara mekanis, kimia maupun biologi dan ketiga bagaimana upaya agar ulat bulu ini tidak resisten sehingga bermutasi," beber Menteri Lingkungan Hidup (LH) Gusti Muhammad Hatta di Jakarta, Senin (25/4).
Populasi ulat bulu, menurut dia, juga penting dalam rantai makanan. Sehingga tidak perlu dihilangkan dengan cara menggunakan racun pestisida. "Sekarang upaya kita adalah melepas predator yang menjadi musuh alami ulat bulu seperti burung atau semut karena lebih aman bagi lingkungan. Jika menggunakan racun bisa saja serangga yang lain juga ikut mati," imbuhnya.
Fenomena ulat bulu yang terjadi di Kulonprogo, Probolinggo hingga Jakarta dan daerah lainnya, tutur Gusti, disebabkan penurunan predator dan perubahan iklim. Ia juga meminta masyarakat jangan resah dengan fenomena serangan ulat bulu karena siklus hidupnya yang pendek berkisar sepuluh hari sehingga tidak begitu mengganggu dan kerugian yang ditimbulkan juga tidak begitu besar.
Deputi bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bambang Prasetya mengatakan, berdasarkan hasil temuan LIPI terdapat empat jenis ulat bulu yang menyerang di Probolinggo dan Yogyakarta yaitu Arctornis riquata yang paling dominan dan sudah dicatat sejak 1948, hymantria beatrix, sphraegidus virguneula dan orygya postica. "Ekosistem rusak, cuaca mendukung, sehingga semua ini merebak," ujarnya.
Hal senada disampaikan Kepala Litbang Holtikultura Kementerian Pertanian Jusdar Hilman yang mengatakan upaya monitoring sudah dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa ulat bulu tidak bermigrasi dari suatu daerah ke daerah lain karena ulat yang menyerang memang sudah ada sebelumnya. "Hal ini merupakan fenomena alam biasa, tidak perlu panik tetapi tetap waspada," kata Jusdar.