REPUBLIKA.CO.ID, SOLO - Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Scot A Marciel mengaku pemerintah AS akan memprioritaskan program pertukaran pelajar antara kedua negara untuk lebih menjalin kesepahaman. "Selama ini mungkin masyarakat Indonesia yang lebih mengerti AS, dibandingkan masyarakat AS memahami Indonesia," katanya, seperti disampaikan penerjemahnya, saat mengunjungi Pondok Pesantren Al Muayyad Mangkuyudan, Solo, Kamis.
Ia menjelaskan masyarakat Indonesia mungkin memiliki lebih banyak kesempatan melihat kehidupan masyarakat AS melalui film-film Hollywood misalnya, padahal kehidupan masyarakat AS yang sebenarnya bukan seperti di film-film.
Di sisi lain, kata dia, masyarakat AS belum banyak memahami Indonesia, mereka hanya sebatas tahu beberapa hal, seperti Barack Obama, Presiden AS pernah tinggal di Indonesia selama empat tahun.
"Mereka juga sebatas tahu Indonesia sering mengalami gempa bumi dan memiliki banyak gunung berapi, namun sejumlah masyarakat AS sudah mengetahui bahwa Indonesia memiliki tempat yang indah, bahkan terindah di dunia," katanya.
Karena itu, kata dia, perlu upaya untuk membuat masyarakat kedua negara lebih saling memahami, seperti pertukaran pelajar dan siswa, agar mereka saling berinteraksi dengan dua kebudayaan yang berbeda.
"Saya gembira karena ada santri di sini (Ponpes Al Muayyad Solo, red.) yang sempat belajar ke AS dan saat ini sudah kembali. Mudah-mudahan mereka bisa katakan bahwa masyarakat AS sangat bersahabat," katanya.
Pertukaran pelajar itu, kata dia, bisa juga membuat masyarakat AS memahami bagaimana Islam di Indonesia, dan sebaliknya masyarakat Indonesia paham dan mengerti bagaimana kehidupan masyarakat muslim di AS.
"Memang ada beberapa orang yang masih takut dengan Islam pasca tragedi 11 September pada 10 tahun silam, namun mereka sesungguhnya tidak memahami perbedaan antara segelintir orang yang disebut teroris dan Islam secara keseluruhan," katanya.
Saat ini, kata Scot, sudah ada lebih dari 1.000 masjid di AS dan terus bertambah, sebab pemerintah AS memang tidak mencampuri urusan agama maupun membatasi kehidupan beragama masyarakatnya.
Zulfikar, salah satu santri Ponpes Al Muayyad Mangkuyudan yang pernah dikirim belajar ke AS mengaku kebebasan beribadah di negara Paman Sam itu sangat dihargai, padahal mereka ditempatkan di sekolah milik pemerintah.
"Mereka (masyarakat AS, red.) memang belum memahami peribadatan Islam, dan kita yang harus memberi tahu apa yang kita butuhkan, mereka akan sangat menghargai," katanya, yang mengaku diberangkatkan dengan empat kawannya.