Selasa 24 May 2011 20:15 WIB

Manusia dan Proses Penyempurnaan Diri

Red: cr01
Ilustrasi
Foto: muhsinlabib.com
Ilustrasi

oleh Komaruddin Hidayat *

 

Secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia  merupakan  puncak ciptaan-Nya  dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang prima dibanding makhluk lainnya (QS. 95:4). Namun begitu Allah juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih belum selesai atau setengah  jadi, sehingga  masih  harus  berjuang untuk menyempurnakan dirinya (QS. 91:7-10). Proses penyempurnaan  ini  amat  dimungkinkan  karena  pada  naturnya manusia  itu  fitri,  hanif  dan berakal. Lebih dari itu bagi seorang mukmin petunjuk primordial  ini  masih  ditambah  lagi dengan  datangnya  Rasul  Tuhan  pembawa  kitab  suci  sebagai petunjuk hidupnya (QS. 4:174).

 

Di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat  yang  berbunyi: Man 'arafa nafsahu  faqad 'arafa rabbahu—siapa yang telah mengenal dirinya maka ia (akan mudah) mengenal Tuhannya. Jadi, pengenalan  diri  adalah  tangga yang harus dilewati seseorang untuk mendaki  ke  jenjang  yang  lebih  tinggi  dalam  rangka mengenal Tuhan.

 

Persoalan serius yang menghadang adalah, sebagaimana diakui kalangan psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada umumnya, kini manusia semakin mendapatkan kesulitan untuk mengenali jati diri dan hakikat kemanusiaannya. Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengundang kegelisahan intelektual para ahli pikir untuk mencoba berlomba menjawabnya. Semakin  seorang ahli pikir mendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula ia terkurung dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti semakin terputus dari pemahaman komprehensif tentang manusia.

Krisis pengenalan diri sesungguhnya tidak hanya dirasakan kalangan ahli pikir Barat modern, melainkan juga di kalangan Islam. Terjadinya ideologisasi terhadap ilmu-ilmu agama, secara sadar atau tidak, telah  menghantarkan pada persepsi yang terpecah dalam melihat manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, secara tak langsung ilmu ini cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Maha Hakim, sementara manusia adalah subyek-subyek yang cenderung membangkang dan harus siap menerima vonis-vonis dari kemurkaan Tuhan Sang Maha Hakim atau, sebaliknya, manusia pada  akhirnya akan  menuntut  imbalan  pahala  atas ketaatannya melaksanakan dekrit-Nya.

 

Demikianlah,  bila  ilmu  fiqih  cenderung  mengenalkan  Tuhan sebagai  Maha  Hakim,  maka  ilmu  kalam lebih menggarisbawahi gambaran Tuhan  sebagai  Maha  Akal,  sementara  ilmu  tasawuf memproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih.

 

Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena pada dasarnya yang bertuhan adalah manusia,  di  mana  manusia  itu lahir,  tumbuh  dan  berkembang  dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dijumpai dalam realitas sejarah hidupnya. Jadi,   bila  langkah  pertama  untuk  mengenal  Tuhan  adalah mengenal diri  sendiri  terlebih  dahulu  secara  benar,  maka langkah   pertama  yang  harus  kita  tempuh  ialah  bagaimana mengenal diri kita secara benar.

 

Bagi  mereka  yang  berpandangan  atau  terbiasa dengan metode berpikir  empirisme-materialistik  akan  sulit  diajak   untuk menghayati  makna  penyempurnaan  kualitas  insani sebagaimana yang lazim diyakini di kalangan  para  sufi.  Kritik  terhadap aliran  materialisme  akhir-akhir ini semakin gencar, dan akan mudah dijumpai  pada  berbagai  bidang  studi  keilmuan  Barat kontemporer  dengan  dalih,  antara  lain,  faham  ini  telah mereduksi keagungan  manusia  yang  dinyatakan  Tuhan  sebagai

moral and religious being.

 

Pandangan  yang  begitu  dangkal  tentang manusia secara tegas dikritik oleh al-Qur'an. Menurut  doktrin  Al-Qur'an,  manusia adalah   wakil   Tuhan   di   muka   bumi  untuk  melaksanakan 'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini (QS. 2:3).  Lebih  dari  itu  dalam tradisi sufi terdapat keyakinan yang begitu populer bahwa  manusia  sengaja  diciptakan  Tuhan karena   dengan   penciptaan   itu   Tuhan  akan  melihat  dan menampakkan kebesaran diri-Nya.

 

Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'rafa fa khalaqtu al-khalqa fabi 'arafuni—Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka kenal Aku.

 

Terlepas  apakah  riwayatnya sahih ataukah lemah, pada umumnya orang sufi menerima hadits  tersebut,  namun  dengan  beberapa penafsiran  yang  berbeda.  Meski  demikian,  mereka cenderung sepakat  bahwa  manusia  adalah  microcosmos   yang   memiliki sifat-sifat yang menyerupai Tuhan dan paling potensial mendekati Tuhan  (Bandingkan  QS.  41:53).  Dalam  QS.  15:29, misalnya,  Allah  menyatakan  bahwa  dalam diri manusia memang terdapat unsur Ilahi  yang  dalam  Al-Qur'an  beristilah  "min ruhi."  Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjang dan mata rantai eksistensi. Bila diurut  dari  bawah  unsurnya ialah minerality, vegetality, animality, dan humanity.

 

Dari jenjang pertama sampai ketiga aktivitas dan daya jangkau manusia masih berada dalam  lingkup  dunia  materi  dan  dunia materi  selalu  menghadirkan  polaritas  atau fragmentasi yang saling berlawanan (the primordial pair). Dalam konteks  inilah yang  dimaksud  bahwa realitas yang kita tangkap tentang dunia materi adalah realitas yang terpecah  berkeping-keping.  Makin berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaran realitas dunia,  dan  makin  jauh  pula  manusia  untuk  mampu mengenal dirinya secara utuh.

Dalam   kaitan   definisi,  tradisi  tasawuf  belum  mempunyai definisi tunggal, namun para sarjana muslim sepakat bahwa inti tasawuf  adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakekat keluhuran nilai  seseorang  bukanlah  terletak   pada   wujud   fisiknya melainkan  pada  kesucian  dan  kemuliaan hatinya, sehingga ia bisa sedekat mungkin  dengan  Tuhan  yang  Maha  Suci. 

Ajaran spiritualitas  seperti  ini  tidak  hanya  terdapat pada Islam melainkan pada agama  lain,  bahkan  dalam  tradisi  pemikiran filsafat  akan  mudah  pula  dijumpai. Dari kenyataan ini maka tidak  terlalu  salah  bila   ada   yang   berpendapat   bahwa sesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan batin manusia ke arah  kehidupan  mistik  bersifat  natural  dan  universal.

Pendeknya, pada nurani manusia yang terdapat dalam cahaya suci yang senantiasa ingin menatap Yang Maha Cahaya (Tuhan)  karena dalam  kontak  dan  kedekatan  antara  nurani dan Tuhan itulah muncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling  prima. 

Kalangan sufi  yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan  merupakan  natur manusia   yang   paling   dalam,  yang  pertumbuhannya  sering terhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa nabati dan  hewani yang  melekat pada manusia. Dengan kiasan lain, roh Ilahi yang bersifat imateri dan berperan sebagai "sopir"  bagi  kendaraan "jasad"  kita  ini seringkali lupa diri sehingga ia kehilangan otonominya  sebagai  master. 

Bila  hal   ini   terjadi   maka terjadilah kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi difokuskan pada kesucian jiwa tetapi pada  prestasi  akumulasi dan  konsumsi  materi.  Artinya,  jiwa  yang tadinya duduk dan memerintah dari atas singgasana "imateri" dengan sifat-sifatnya  yang  mulia seperti: cinta kasih, penuh damai, senang kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci  dan Abstrak,  lalu  turunlah  tahtanya ke level yang lebih rendah, yaitu dataran: minerality, vegetality, dan animality.

 

Jadi, tujuan utama ajaran tasawuf  adalah  membantu  seseorang bagaimana  caranya  seseorang bisa memelihara dan meningkatkan kesucian jiwanya sehingga dengan begitu ia  merasa  damai  dan juga  kembali  ke tempat asal muasalnya dengan damai pula (QS. 89:27).

 

Secara garis besar tahapan seorang mukmin  untuk  meningkatkan kualitas jiwanya terdiri dari tiga maqam. Pertama, dzikir atau ta'alluq pada Tuhan. Yaitu, berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran  hati  dan  pikiran  kita  kepada  Allah. Di manapun seorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas dari berfikir dan berdzikir   untuk   Tuhannya  (QS.  3:191).  Dari  dzikir  ini meningkat sampai maqam kedua -takhalluq. Yaitu,  secara  sadar meniru  sifat-sifat  Tuhan  sehingga  seorang  mukmin memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya. Proses ini bisa  juga disebut sebagai proses internalisasi sifat Tuhan ke dalam diri manusia. Dalam konteks ini kalangan sufi biasanya menyandarkan Hadits Nabi yang berbunyi, "Takhallaqu bi akhlaq-i Allah."

 

Maqam   ketiga   tahaqquq.   Yaitu,   suatu   kemampuan  untuk mengaktualisasikan kesadaran  dan  kapasitas  dirinya  sebagai seorang  mukmin  yang  dirinya  sudah "didominasi" sifat-sifat Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya yang serba suci dan mulia.  Maqam  tahaqquq  ini  sejalan dengan Hadits Qudsi yang digemari kalangan sufi  yang  menyatakan  bahwa  bagi  seorang mukmin  yang telah mencapai martabat yang sedemikian dekat dan intimnya  dengan  Tuhan  maka  Tuhan  akan  melihat  kedekatan hamba-Nya.

 

Dalam tradisi tasawuf yang menjadi fokus kajiannya ialah apa yang disebut gaib atau  hati dalam pengertiannya yang metafisis. Beberapa ayat al-Qur'an dan Hadits menegaskan bahwa hati seseorang bagaikan raja, sementara badan  dan  anggotanya bagai  istana  dan para abdi dalem-nya. Kebaikan dan kejahatan kerajaan itu akan tergantung bagaimana perilaku sang raja.

 

Dalam sebuah hadits Qudsi  disebutkan  bahwa  meskipun  secara fisik  hati itu kecil dan mengambil tempat pada jasad manusia, namun  luasnya  hati  Insan  Kamil  (qalb  al-'arif)  melebihi luasnya  langit  dan  bumi  karena  ia  sanggup menerima Arsy Tuhan,  sementara  bumi  langit  tidak  sanggup.  Menurut  Ibnu Arabi,  kata qalb senantiasa berasosiasi dengan kata taqallub yang bergerak atau berubah secara konstan.  Taqallub-nya  hati sang  sufi,  kata  'Arabi,  adalah  seiring dengan tajalli-nya Tuhan. 

Tajalli berarti penampakan diri Tuhan ke dalam makhluk-Nya dalam  pengertian  metafisik. Dan dari sekian makhluk Tuhan, hanya hati seorang Insan Kamil-lah yang  paling mampu  menangkap  lalu  memancarkan tajalli-Nya dalam perilaku kemanusiaan (Fushushul Hikam, XII; Hossein Nasr, 1977, p.138). Dalam  konteks  inilah,  menurut  Ibnu Arabi, yang dimaksudkan dengan  ungkapan  siapa  yang  mengetahui  jiwanya,  ia   akan mengetahui  Tuhannya  karena manusia adalah "microcosmos" atau jagad cilik dimana Arsy Tuhan berada di  situ,  tetapi  Tuhan bukan  pengertian  huwiyah-Nya  atau  "ke-Dia-annya" yang Maha Absolut dan Maha Esa, melainkan Tuhan  dalam  sifat-Nya  yang Dhahir, bukannya Yang Bathin.

 

Bila  upaya  penyucian  jiwa  merupakan  inti tasawuf, dan itu dilakukan dalam upaya mendekati  dan  menggapai  kasih  Tuhan, maka  tasawuf  bisa  dikatakan  sebagai  inti  keberagaman dan karenanya setiap  muslim  semestinya  berusaha  untuk  menjadi sufi.

 

Melalui   tahapan  ta'alluq,  takhalluq,  dan  tahaqquq,  maka seorang mukmin akan mencapai  derajat  khalifah  Allah  dengan kapasitasnya  yang  perkasa  tetapi  sekaligus penuh kasih dan damai. Seorang 'abd-u 'l-Lah (budak Allah) yang  saleh  adalah sekaligus  juga  wakil-Nya untuk membangun bayang-bayang surga di muka bumi ini. Bukankah Allah punya blue-print  dan  proyek untuk  memakmurkan  bumi,  dan  bukankah  hamba-hamba-Nya yang saleh telah dinyatakan sebagai  mandataris-Nya?  Jadi,  secara karikatural, seorang sufi kontemporer adalah mereka yang tidak asing berdzikir dan berfikir tentang Tuhan sekalipun di  hotel mewah dan datang dengan kendaraan yang mewah pula.

* Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

sumber : Pustaka Media
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement