REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR - Kepala Dinas Peternakan Provinsi Bali, I Putu Sumantra mengatakan, dengan adanya penghentian impor sapi dari Australia membawa dampak positif bagi peternak di Pulau Dewata.
"Penghentian impor tersebut bila dibandingkan sebelumnya," katanya di Denpasar, Jumat.
Ia mengatakan, sebelumnya harga sapi hidup per kilogram hanya dijual berkisar Rp16.000 hingga Rp17.000. Namun sekarang harga sapi hidup naik menjadi Rp22.000 hingga Rp23.000 per kilogram.
"Sebagian masyarakat atau pelaku bisnis merasa rugi karena selama ini harga daging impor bisa dibeli dengan lebih murah. Setelah sapi impor dihentikan maka mereka akan berpindah ke daging lokal yang kualitasnya sama dengan daging impor, apalagi kalau itu adalah sapi bali," katanya.
Menurut Sumantra, penghentian impor daging sapi tersebut membuat Pemprov Bali saat ini sedang berusaha agar seluruh hotel dan restoran di Pulau Dewata menggunakan daging sapi bali.
"Kita akan terus berupaya meningkatkan kualitas, kontinuitas serta pasokan yang diperlukan. Bali sendiri sangat siap untuk memenuhi pasokan daging sapi bagi kalangan hotel dan restoran berbintang di Bali, termasuk untuk kebutuhan daging lokal bagi masyarakat umum lainnya," ucap Sumantra.
Selama ini daging sapi bali, kata dia, sangat kurang dipakai di hotel dan restoran dengan alasan harga yang terlalu mahal dan dagingnya keras atau alot.
Namun dalam beberapa pekan terakhir pascapenghentian impor daging sapi oleh Australia, pasar ke hotel dan restoran mulai bergeliat dan banyak hotel yang sudah memesan daging sapi bali.
Ia mengatakan, pihaknya sendiri sudah melakukan pertemuan dengan pengurus PHRI, para asosiasi sapi bali, para eksportir dan importir daging, ketua dan dan pengurus asosiasi juru masak Bali.
Dari pertemuan tersebut, lanjut Sumantra, umumnya mereka bersedia menggunakan daging sapi bali dengan beberapa persyaratan, antara lain harganya bersaing, pasokan selalu dipenuhi, kualitas daging harus ditingkatkan.
"Permintaaan tersebut disepakati dan Dinas Peternakan bersama para peternak akan terus berupaya meningkatkan kualitas daging sapi terutama keluhan selama ini yang katanya daging sapi bali itu terlalu alot atau keras," katanya.
Dikatakan, upaya yang sudah dilakukan antara lain sistem pengembangbiakan yaitu harus dikawinkan dengan pejantan unggul sehingga umur dua tahun sudah bisa dipotong.
Selain itu, sapi yang akan dikonsumsi dilarang dipakai untuk membajak sawah dan dilarang terlalu banyak bergerak agar dagingnya tidak keras. Sistem pemberian pakan juga akan terus disosialiasi sehingga kualitas daging sapi bali akan menyamai sapi import selama ini.
Sumantra menegaskan, masalah stok sudah tidak perlu dikawatirkan lagi. Selama ini sapi bali banyak yang dibawa ke luar pulau terutama Jakarta dan Jawa Barat.
"Rata-rata setiap tahun, jumlah sapi bali yang dibawa ke Jawa sebanyak 65.000 ekor. Sedangkan yang dipakai di hotel dan restoran hanya mencapai 1.300 ton per tahun untuk sapi bali, 64 ton untuk sapi impor asal Australia, dan 16 ton asal Selandia Baru," ujarnya.
Sisanya berasal dari daging sapi luar daerah bali. Bila impor saat ini dihentikan maka daging dari luar daerah Bali harus memenuhi kebutuhan lokal dan daging sapi bali lah yang dipakai di hotel dan restoran yang ada di Bali.
"Bila hotel dan restoran memakai daging sapi bali maka kami bisa mengurangi bahkan menyetop pengiriman sapi ke luar Bali," ucapnya.