REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Juru bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, menuduh Polri mencoba memutarbalikkan fakta hukum terkait surat palsu MK. Disimpulkannya, penyidik mencoba membelokkan fakta terjadinya kecerobohan sistem administrasi di di internal MK, bukan pada pembuat, pengonsep, dan pengguna surat palsu tersebut.
Karena itu, ia menduga arah penyidikan skandal surat palsu itu mengarah pada adanya kesalahan administrasi yang dilakukan MK sendiri. Dengan begitu, kata dia, dikesankan kasus surat palsu itu tidak mempunyai dampak hukum besar atas terjadinya pemalsuan dan penggelapan dokumen negara.
Akil yakin, Polri berupaya membelokkan kasus ini sehingga penyidikan berhenti pada penetapan dua tersangka dari MK, yakni mantan juru panggil MK, Masyhuri Hasan, dan mantan panitera pengganti MK, Zainal Arifin Hoesein. Adapun aktor intelektualnya dan pengguna surat palsu itu selamat, sebab tidak disentuh sama sekali keterlibatannya.
Menurut Akil, penyidik harusnya menelusuri peran mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Andi Nurpati, sebagai pengonsep dan caleg Partai Hanura Dewie Yasin Limpo sebagai pihak yang memanfaatkan surat palsu tersebut. "Sulit memahami logika dan cara penyidikan polisi. Mereka melindungi AN (Andi Nurpati)," katanya, Senin (5/9).
Apalagi keterlibatan Andi Nurpati, saat memimpin rapat pleno KPU dan menjadikan surat MK Nomor 112/PAN.MK/VIII/2009 tertanggal 14 Agustus 2009 sebagai dasar untuk meloloskan Dewie Yasin Limpo meraih kursi DPR. Hal itu sangat jelas melanggar hukum sebab yang bersangkutan mengetahui keberadaan surat asli MK dengan substansi yang berbeda.
Pihaknya mendorong penyidik bekerja sesuai jalur yang benar dan tidak keluar dari fakta hukum yang didapat dari temuan tim investigasi MK, Panja Mafia Pemilu DPR, dan hasil rekonstruksi Bareskrim Polri di kantor KPU, MK, dan JakTV.
Karena jika tidak diingatkan dan prosesnya seperti sekarang, ia menilai bisa muncul anggapan di masyarakat bahwa penyidik bekerja serampangan dan menjungkirbalikkan logika hukum. Pasalnya, kerja mereka yang ingin menghubungkan logika hukum dengan fakta di lapangan tidak sinkron. "Orang yang jelas terlibat, penyidik masih ragu menetapkan jadi tersangka. Ini soal logika hukum yang kita hubungkan dengan fakta-fakta yang tidak nyambung," kata Akil.
Penyidik Bareskrim Mabes Polri menetapkan Zainal Arifin, sebagai tersangka baru dalam kasus pemalsuan surat keputusan MK terkait sengketa penentuan kursi DPR dari daerah pemilihan 1 Sulawesi Selatan. Zainal menyusul mantan juru panggil MK Masyhuri Hasan, sebagai tersangka dengan jeratan Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen Negara.
Diduga kuat polisi tidak berani menetapkan tersangka kepada Andi Nurpati dan Dewie Yasin Limpo karena keduanya dekat penguasa. Andi Nurpati adalah Ketua Divisi Komunikasi dan Informasi Partai Demokrat, dan Dewie Yasin Limpo adalah adik Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, yang juga politikus Partai Golkar.