REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen dianggap masih menebar ancaman, karena dinilai tak menghargai privasi, mengancam HAM, dan rawan menyalahkan orang yang tidak tahu apa-apa.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyoroti tiga hal yang mengancam dalam RUU tersebut. Pertama, masalah rahasia negara yang diketahui khalayak.
RUU itu berbunyi, setiap orang yang membocorkan rahasia negara akan diancam pidana. Kata-kata "setiap orang" dianggap rancu karena yang mengetahui rahasia negara hanyalah intelijen sendiri. "Tak mungkin yang membocorkan rahasia negara seorang tukang becak," ujar Koordinator Kontras, Haris Azhar di DPR, Rabu (28/9).
Kata-kata setiap orang menunjukkan orang biasa yang secara langsung atau tidak mengetahui rahasia intelijen diancam pidana. "Ini tidak benar, karena seharusnya yang dipidana adalah oknum intelijen sendiri," kata Haris. "Karena dia yang membocorkan rahasia."
Ancaman kedua terkait masalah penyadapan. RUU ini menyebutkan penyadapan dilakukan dengan cukup memberitahukan pengadilan. Ini berarti pengadilan tidak berhak mengontrol penyadapan yang dilakukan pihak intelijen.
Haris menilai hal ini melanggar privasi orang. Penyadapan dilakukan pihak intelijen untuk menguak hal-hal yang bersangkutan dengan ancaman negara. Seseorang kemudian menjadi target. "Harus ada pihak ketiga yang mengontrol dan mengawasi jalannya penyadapan, agar penyadapan tidak semena-mena," imbuhnya.
Belum lagi masalah mendapatkan informasi intelijen dari seseorang yang terlibat pelanggaran tindak pidana. Dalam RUU itu tak disebutkan untuk mendapatkan informasi tanpa melakukan kekerasan fisik. Haris melihat poin ini rawan pelanggaran HAM, karena masih menunjukkan cara-cara konvensional aparat intelijen dalam mendapatkan informasi.