Rabu 26 Oct 2011 19:02 WIB

Soal Pembelian7 Persen Saham Newmont, Pemerintah Dinilai Langkahi DPR

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis mengatakan, Komisi XI akan mengirimi surat kepada Presiden terkait hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan tentang pembelian saham divestasi tujuh persen saham PT Newmont Nusa Tenggara oleh pemerintah.

"Keputusan Rapat Internal Komisi XI DPR yang dilakukan pagi hari ini tgl 26 Oktober 2011, mengenai hasil audit BPK soal Newmont. Komisi XI memutuskan berkirim surat ke Presiden, melalui Pimpinan DPR dengan tembusan ke Komisi VII DPR dan BAKN DPR," katanya dalam pesan singkat yang dilansir ANTARA, Rabu.

Ia mengungkapkan, isi surat tersebut adalah meminta Presiden mematuhi hasil audit BPK tentang pembelian saham PT NNT oleh pemerintah yang harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR.

"Bila tidak meminta persetujuan DPR, penggunaan dana APBN oleh pemerintah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan," katanya. Selain itu, dalam surat itu juga menyatakan, Pusat Investasi Pemerintah (PIP) yang menggunakan dana APBN untuk membeli saham PT NNT dianggap telah menyimpang dari tujuan berdirinya PIP.

"PIP didirikan untuk membantu pembiayaan infrastrukutr pembagunan. 3 Komisi XI meminta agar pemerintah wajib mematuhi peraturan perundang-undangan dalam setiap kebijakannya," katanya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Agus Martowardojo di Kompleks Istana Wapres, Rabu, mengatakan, pihaknya masih akan mengkaji surat BPK tersebut. "Kami sudah terima (Audit BPK), lagi dikaji, mungkin besok kita akan bisa menjelaskan tentang itu," katanya.

Menurut dia, pemerintah tetap beranggaapan bahwa pembelian PT NNT melalui PI tersebut memiliki dasar hukum. "Kami juga memahami kalau seandainya DPR menginginkan untuk dimintai persetujuan soal ini. Tetapi, kami dari pemerintah juga berkeyakinan bahwa kami memiliki dasar undang-undang untuk melakukan investasi di perusahaan seperti Newmont itu," katanya.

Sebelumnya, Agus menegaskan, pembelian saham senilai 246,8 juta dolar AS tersebut merupakan investasi yang bersifat tidak permanen sesuai dengan UU 1/2004 tentang perbendaharaan negara.

"Dalam Pasal 41, pemerintah dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk melakukan investasi dan investasinya itu antara lain bisa untuk membeli saham, surat utang ataupun sekuritas lainnya, tetapi investasinya adalah investasi non permanen," katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement