REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar filsafat politik, Frans Magnis Suseno, mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia bisa dianalogikan seperti toko swalayan. Demokrasi yang hanya melayani orang yang punya uang.
"Di swalayan, kalau anda tidak punya uang, maka pelayan toko tidak akan mendengarkan apapun permintaan anda,'' kata Frans dalam seminar "Sarasehan Kebangsaan" di Jakarta, Selasa. ''Demikian pula demokrasi kita. Hanya mereka yang punya modal materi lebih yang bisa berkuasa di negeri ini."
Dalam logika swalayan, kata Frans, pembeli adalah raja yang dilayani oleh penjual. Penjual dalam konteks demokrasi Indonesia adalah rakyat Indonesia. Mereka lah yang akan melayani kebutuhan politisi yang membeli suara masyarakat.
"Padahal, ide utama demokrasi adalah keterwakilan. Politisi adalah wakil yang seharusnya melayani kebutuhan orang yang diwakilinya, bukan sebaliknya," kata pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Diyarkara tersebut.
Frans mengatakan bahwa demokrasi toko swalayan telah menyebabkan adanya ketidaktenangan di masyarakat.
"Memang ekonomi kita bagus, pertumbuhan maju terus, kemiskinan juga tidak terlalu ekstrem. Namun, konflik sosial di daerah soal tanah seperti kasus Mesuji dan Bima menunjukkan bahwa masyarakat tidak tenang dan puas dengan kondisi ini," kata Franz.
Ketidaktenangan masyarakat itu disebabkan oleh demokrasi yang dikorupsi. Yaitu, demokrasi yang menempatkan uang sebagai prinsip dasar interaksi politik. ''Selain demokrasi yang dipraktikkan seperti manajemen toko swalayan, penyebab lainnya adalah tidak hadirnya kepemimpinan yang kuat dalam kehidupan bernegara kita. Kita ini seperti hidup dalam pesawat yang memakai mode 'autopilot'," kata Frans.
Pesawat bernama Indonesia ini, menurut Frans, telah dibiarkan terbang tanpa kendali. Sehingga, tujuan pendiri bangsa terancam tidak tercapai.