REPUBLIKA.CO.ID, BAMAKO – Pemberontak Tuareg berhasil merebut wilayah di bagian utara Mali, Jumat (23/03). Para tentara meninggalkan pos mereka dan melarikan diri dalam kondisi kebingungan menyusul kudeta di Bamako.
Kondisi ini meningkatkan spekulasi bahwa pemberontak bisa menguasai seluruh utara. Stasiun televisi juga meledak akibat gempuran udara oleh pasukan yang setia kepada Presiden Amadou Toumani Toure.
Pemerintah berhasil digulingkan oleh tentara merah setelah gagal mempersenjatai pasukan militer untuk menghadang Tuareg. Militer Mali hanya memiliki 7.000 tentara yang siap tempur.
Di sisi lain, pemberontak yang memiliki senjata lengkap ini banyak yang merupakan bekas pejuang Muammar Qadafi ketika terjadi konflik di Libya tahun lalu. "Kondisi presiden aman, dia dilindungi oleh loyalis," kata Jean Ping, pejabat Uni Eropa.
Sementara itu, Uni Eropa menangguhkan keanggotaan Mali, Jumat kemarin. Uni Eropa juga menghentikan kegiatan pembangunan di negeri itu akibat pukulan keras krisis pangan. Penculikan orang asing oleh afiliasi Alqaidah di Maghreb juga menyebabkan runtuhnya sektor pariwisata. Kini bantuan kemanusiaan juga tidak akan berpengaruh banyak.
Salah seorang pemimpin pemberontak, Dilal Alsherif, mengatakan pasukannya telah mendekati Kidal. Anak buahnya berhasil mengambil Anefis dengan mudah karena strategi militer lawan berantakan.
Di tengah kecaman dunia internasional terhadap kudeta ini, kapten pemimpin junta, Amadou Sanogo, mengatakan dirinya akan mundur setelah negara itu aman dan pemberonakan Tuareg usai. Dia memperkirakan kondisi ini masih akan berlangsung tiga sampai sembilan bulan ke depan.
Kudeta oleh Tuareg terjadi hanya beberapa pekan sebelum pemilihan presiden. Kondisi ini adalah kemunduran besar bagi demokrasi di Afrika Barat. Mali selama ini dianggap sebagai mercusuar demokrasi di daerah yang para pemimpinnya berpegang teguh pada kekuasaan.