REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) menyalahkan pemerintah yang tidak kunjung merealisasikan janjinya untuk memenuhi kesejahteraan hakim.
Kepala Bagian Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur, mengkritik sistem penggajian antara pegawai negeri sipil (PNS) dan hakim yang berbeda. Sebab, saat PNS mengalami kenaikan gaji selama lima kali, sementara hakim malah gajinya belum naik selama 11 tahun belakangan ini.
Padahal, kata Ridwan, tuntutan hakim itu tidak macam-macam, hanya tidak ingin dibedakan kesejahteraannya dengan sistem penggajian PNS. Sebab, jika hakim tidak lagi bertugas di Pengadilan Tipikor, PHI, maupun Pengadilan Perikanan, maka otomatis tunjangannya hilang dan hanya mendapat gaji pokok.
Meski begitu, sesuai instruksi Ketua MA Hatta Ali, pihaknya mengimbau agar hakim tidak sampai meninggalkan tugasnya untuk bersidang, bukan malah mogok kerja. “Kami sudah perjuangkan masalah ini, dan tinggal menunggu hasilnya,” kata Ridwan.
Ditanya kabar bahwa Presiden bakal menyetujui kenaikan gaji hakim, Ridwan berharap kabar itu benar. "Kami masih menunggu hal itu terwujud. Semoga kabar itu benar adanya," imbuh dia.
Ketua Komisi Yudisial (KY), Eman Suparman, mengaku sejak awal 2011 sudah memperjuangkan peningkatan gaji hakim. Hal itu disampaikannya kepada Presiden SBY, saat baru terpilih menjadi ketua KY. Saat itu, katanya, Presiden setuju untuk menaikkan gaji hakim dan membayarkan remunerasi secara penuh. Kalau sekarang ternyata janji itu tidak terwujud, pihaknya mengaku sangat prihatin.
Pasalnya, hakim tidak mendapat remunerasi penuh dan itu pun dibayar tiga bulan sekali. “Gaji hakim memang belum cukup, sebab hanya 70 persen remunerasi yang dibayarkan. Ini membuat hakim mutung,” beber Eman.
Pada era Busyro Muqoddas (mantan Ketua KY), KY pernah memperjuangkan agar hakim golongan IIIA diusulkan membawa pulang gaji sebesar Rp 8.769.000 per bulan. Sedangkan gaji hakim tingkat banding adalah Rp 10.525.400 per bulan, dan hakim agung mendapat Rp 30 juta per bulan.