Selasa 10 Apr 2012 07:47 WIB

PKNU Protes Perubahan UU Pemilu

Rep: Indah Wulandari/ Red: Hazliansyah
Bahas Parliamentary Treshold : Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Sutiyoso (dua kanan), bersama (dari kiri), Ketum PKNU, Choirul Anam, Ketua Pelaksana Harian Pimpinan Kolektif Nasional Partai Demokrasi Pembaruan (PLH PKN PDP),H Roy B
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Bahas Parliamentary Treshold : Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Sutiyoso (dua kanan), bersama (dari kiri), Ketum PKNU, Choirul Anam, Ketua Pelaksana Harian Pimpinan Kolektif Nasional Partai Demokrasi Pembaruan (PLH PKN PDP),H Roy B

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) menolak perubahan UU Pemilu Nomor 10 tahun 2008. Perundangan ini dinilai diskriminatif dan manipulatif terhadap partai nonparlemen.

"Secara mendasar ada tiga alasan fundamental untuk menolak perubahan itu,"ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Choirul Anam, Selasa (10/4).

Alasan utamanya, ungkap Anam, perubahan itu bermuatan diskriminatif. Sebab, pada ketentuan sebelumnya, dalam pasal 8 UU Nomor 10/2008 sudah ditetapkan bahwa semua peserta pemilu 2009 menjadi peserta pemilu berikutnya, yaitu pemilu 2014. Akan tetapi dalam perubahan, hanya partai di Senayan saja yang nanti otomatis menjadi peserta pemilu 2014. Sedangkan partai non parlemen harus dilakukan verifikasi faktual oleh KPU terlebih dahulu dengan syarat yang sangat berat untuk bisa menjadi peserta pemilu.

Alasan kedua, perubahan UU Pemilu saat ini bernuansa manipulatif karena akan dipaksakan penerapan kenaikan ambang batas parlemen (parliamentary threshold/ PT) dari sebelumnya 2,5 persen, dinaikkan antara 3,5 - 4 persen dan berlaku flat nasional. Artinya, jelasnya, jika parpol tidak mencapai angka PT untuk suara DPR, maka tidak mendapatkan anggota DPR dan DPRD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

“Dengan konsep perubahan seperti ini, jelas akan terjadi manipulasi suara rakyat. Karena pilihan rakyat tidak terepresentasikan dalam DPR, DPRD provinsi dan kota/kabupaten,” jelasnya.

Perubahan UU Pemilu saat ini dinilai Anam menjadi paradoks dengan politik kebangsaan di tengah fakta banyaknya kasus disintegrasi bangsa, seperti di Papua dan Aceh. Serta upaya untuk menjaga empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tungga Ika.

Sekjen DPP PKNU, Tohadi menambahkan, perubahan UU Pemilu justru akan memicu konflik horizontal dan mengikis habis kemajemukan. Dengan penerapan kenaikan PT dan berlaku flat nasional tadi, akan banyak entitas dan komunitas lokal tidak terwadahi dan tidak terwakili dalam parlemen baik di tingkat pusat maupun daerah.

“Aliran pikiran politik yang sebelumnya terwakili dalam keragaman parpol juga akan hilang karena parpol-parpol dijegal untuk tidak bisa mengirimkan wakil-wakilnya di parlemen itu,” katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement