REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti INSISTS (Institute for The Study of Islamic Thought and Civilizations) Henri Shalahuddin membuka paparannya terkait studi feminisme. Hakikatnya, ungkap Henri, feminisme berawal dari pernyataan perempuan tentang kekuatannya. Isu ini juga dipicu kemunculannya oleh sejarah ketertindasan wanita di Barat dengan adanya inkuisisi gereja.
Henri juga memaparkan fenomena gerakan feminisme yang melahirkan banyak aksi, seperti penentangan terhadap UU Pornografi, pernikahan tanpa memandang gender, dukungan terhadap homoseksual, dan pembahasan lainnya. Sehingga dalam perkembangannya, tindakan personal perempuan jauh lebih mengena. Fakta itu membuat Henri mengusung upaya menuju keserasian gender sebagai solusi atas isu kesetaraan gender.
"Mengapa kaum perempuan tidak memperjuangkan sendiri tersedianya ruang publik privasi bagi dirinya sebagai ekspresi hak asasi manusia?" jelas Henri dalam kajian publik Nuansa Islam Mahasiswa Universitas Indonesia (SALAM UI), Selasa (10/4) petang.
Menurut Hendri, selama ini ketersediaan ruang menyusui di tempat publik, insentif dan cuti hamil hingga menyusui, masa kerja yang fleksibel untuk ibu yang berkarier, subsidi bulanan bagi ibu yang tak mampu menyusui bayi hingga balita, kompensasi biaya persalinan, atau kebebasan berjilbab di tempat kerja masih disodorkan sebagai hak absolut perempuan.