Kamis 12 Apr 2012 20:40 WIB

UU Pemilu Potensi Picu Bentrok Massa

Rep: Mansyur Faqih/ Red: Heri Ruslan
Bahas Parliamentary Treshold : Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Sutiyoso (dua kanan), bersama (dari kiri), Ketum PKNU, Choirul Anam, Ketua Pelaksana Harian Pimpinan Kolektif Nasional Partai Demokrasi Pembaruan (PLH PKN PDP),H Roy B
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Bahas Parliamentary Treshold : Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Sutiyoso (dua kanan), bersama (dari kiri), Ketum PKNU, Choirul Anam, Ketua Pelaksana Harian Pimpinan Kolektif Nasional Partai Demokrasi Pembaruan (PLH PKN PDP),H Roy B

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — UU Pemilu yang baru saja disahkan oleh DPR berpotensi memicu munculkan bentrok massa di daerah. Ini lantaran keputusan fraksi di DPR terkait beberapa pasal yang dianggap tidak mencerminkan keterwakilan.

"Undang-undang itu tidak memberikan asas keterwakilan. Karenanya, bisa membuat geger lapisan bawah. Sembilan partai di DPR tidak memikirkan itu. Namun hanya berpikir bagaimana partainya nanti menang dan bisa dapat kursi. Tidak memperlihatkan sikap negarawan," kata Ketua Umum Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), Choirul Anam, ketika dihubungi, Kamis (12/4). 

Substansi yang dikritisi oleh Choirul yakni mengenai penetapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT) sebesar 3,5 persen secara nasional. Ia menilai, DPR bukan atasan DPRD. Sehingga, tidak berhak untuk mengatur siapa atau partai apa yang berhak duduk di tingkat DPRD.

DPR akhirnya menetapkan PT sebesar 3,5 persen dan berlaku nasional. Artinya suara partai di daerah yang tidak lolos PT nasional tidak akan diakui. Dengan begitu, komposisi partai di daerah pun sama dengan komposisi partai yang ada di tingkat nasional. Artinya, kata dia, ini dapat menghilangkan representasi masyarakat di daerah yang partai perwakilannya tidak masuk PT nasional.

Untuk penentuan DPRD, lanjutnya, harusnya ditentukan sendiri oleh daerahnya. Yaitu oleh kepala daerah dan DPRD. Apalagi, saat ini sudah ada aturan mengenai otonomi daerah. Sehingga daerah diberikan kekuasaan untuk menentukan sendiri nasibnya.

‘’Makanya, harusnya UU Pemilu itu tidak mengatur mengenai PT di daerah. Melainkan menyerahkan ke daerahnya masing-masing,’’ ujar dia.

Jika tidak, maka dikhawatirkan massa pendukung partai tersebut akan  meminta hak representasi yang telah diberikan ke partainya. Karena, suara yang diberikannya tidak dapat terwakili di dewan. karenanya, hal ini berpotensi akan menimbulkan bentrok social di tingkat masyarakat. 

Contoh lain, ujarnya, DPR tidak mempertimbangkan jika kemudian di satu daerah tidak ada suara yang mencapai angka 3,5 persen. ini lantaran banyaknya partai yang ikut dalam pemilukada. ‘’Kalau ini terjadi, lalu bagaimana? Apakah tidak mati semua? Makanya, menentukan PT itu harus hati-hati,’’ jelas dia. 

Karenanya, ia mengaku sudah mempersiapkan bahan-bahan untuk melakukan uji materi terhadap undang-undang tersebut. ia pun yakin kalau Mahkamah Konstitusi akan membatalkan undang-undang tersebut. 

‘’Penentuan PT daerah itu bukan hak DPR. DPRD bukan bawahan DPR. Itu otonomi, ada perda. Karena itu, harusnya soal PT ditentukan daerah masing-masing. Jadi di daerah ada public hearing. Semua stake holder akan ketemu,’’ pungkas dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement