Kamis 19 Apr 2012 22:06 WIB

Nasdem Ajukan Uji Materi UU Pemilu ke MK

Rep: Ahmad Reza S/ Red: Chairul Akhmad
Massa dari berbagai partai politik non-parlemen berunjuk rasa di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Massa dari berbagai partai politik non-parlemen berunjuk rasa di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengesahan Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang telah diparipurnakan DPR-RI beberapa waktu lalu terus menuai kontroversi.

Partai Nasional Demokrat (Nasdem) misalnya, partai besutan Surya Paloh ini mengajukan permohona uji materi akan UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (19/4).

Menurut Ketua Badan Advokasi Hukum Nasdem, Effendy Syahputra, pihaknya melakukan uji materi pasal 8 ayat (1) UU Pemilu terkait verifikasi partai. Menurut dia, aturan tersebut sangatlah tidak adil. Sebab, hanya sembilan partai non parlemen saja yang dapat memenuhi persyaratan tersebut. "Ini jelas tidak adil," kata dia.

Selain itu, pihaknya juga menganggap apa yang termaktub dalam UU Pemilu yang diparipurnakan DPR-RI hanyalah menguntungkan partai-partai yang telah bertengger di parlemen saja. Karena itu, Effendy berpandangan bahwa partai yang telah berada di pemerintahanlah yang menjadi pihak yang diuntungkan. "Mereka hanya meloloskan lembaga mereka sendiri," ujarnya.

Kendati demikian, pihaknya dalam melakukan uji materi tidaklah meminta untuk menghilangkan atau membatalkan pasal 8 ayat (1), namun Nasdem meminta adanya pengubahan mengenai peraturan tersebut. Yakni dalam hal semua partai harus diverifikasi.

Pasalnya, kata dia, pemberlakukan verifikasi terhadap semua partai dapat menjadikan persaingan menjadi sehat. Karena itu, pihaknya mengaku optimis pengajuan uji materi tersebut dapat membuahkan hasil positif. "Pun jika gagal, kami akan hormati apa yang menjadi putusan MK," ujarnya.

Sementara itu, menurut kuasa hukum pemohon, Tomson Situmeang, berpandangan bahwa adanya pasal 8 ayat (1) sangatlah diskriminatif. Aturan tersebut, kata dia, hanya menjadi akal-akalan partai politik yang berada di parlemen.

"Partai yang berkuasa saat ini seperti ingin tetap melanggengkan kekuasaan yang ada tanpa mengindahkan partai lain. Ini semua adalah produk sembilan partai," ujarnya. "Padahal, partai-partai kecil atau yang tidak berada di parlemen hanya ingin berkompetisi demi menciptakan iklim demokrasi yang sehat."

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement