REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) terkait kesejahteraan hakim, Jumat (27/4). Permohonan ini sendiri diajukan oleh Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Teguh Satya Bhakti,
Menurut dia, terkait dengan pengaturan hak-hak pemohon sebagai pejabat negara dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, termaktub dalam Pasal 25 ayat (6) UU Nomor 25 tahun 2009 tentang PTUN, secara empiris hal tersebut belumlah dilaksanakan.
Teguh mengatakan, penyebab tidak dilaksanakannya aturan tersebut dikarenakan masih terdapat ketidakjelasan dalam pasal tersebut. Yakni yang terdapat dalam frasa "diatur dengan peraturan perundang-undangan".
Menurut dia, frasa tersebut tidak menyebutkan secara jelas jenis peraturan yang menerima delegasi kewenangan UU. "Frasa tersebut menjadi banyak memunculkan tafsiran baru," kata dia saat membacakan permohonan dalam sidang perdana PUU, di MK, Jumat (27/4).
Dalam hal ketidakjelasan tersebut, kata dia, akhirnya telah menimbulkan berbagai interpretasi dalam pelaksaannya. Karena Ketidakjelasan itu juga membuat hak-hak pemohon tidak dapat dilaksanakan.
Teguh yang ditemani beberapa rekan seprofesinya yakin bahwa ketidakjelasan frasa tersebut menjadi sumber masalah tidak tercapainya kesejahteraan hakim. Bahkan, hal tersebut juga mengganggu independensi hakim.
Dalam pengujian tersebut, pemohon menguji tiga UU sekaligus dengan pasal yang berbeda. Menurut pemohon, pengajuan tiga UU tersebut dikarenakan persoalan kekuasaan kehakiman tidak dapat dipisahkan oleh lingkungan peradilannya, yakni menjadi mata rantai.
Sidang pemeriksaan pendahuluan ini sendiri dipimpin oleh M Akil Mochtar selaku Ketua Majelis. Menurut majelis, permohonan pemohon harus diperbaiki dengan menambahkan batu uji. "Agar batu uijnya ditambah lagi, sehingga masalah yang diuji dapat berkorelasi dengan baik," kata Akil.