REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA - Dewan Energi Nasional (DEN) menilai pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) atau pemanfaatan energi nuklir di Indonesia hampir tidak mungkin dilaksanakan. "Secara teknis, nuklir atau PLTN untuk Indonesia itu hampir tidak mungkin, tapi bisa menjadi pilihan terakhir bila ada perkembangan teknologi nuklir ke arah lebih aman," kata anggota DEN Prof Ir Rinaldy Dalimi, PhD di Surabaya, Selasa (15/5).
Ia mengemukakan pandangannya di sela-sela workshop "Skenario Kebijakan Energi Indonesia Menuju 2050" yang digelar DEN dan LPPM ITS dengan pembicara lain Ir Tumiran M.Eng PhD (DEN/UGM), Prof Mukhtasor PhD (DEN/ITS), unsur ESDM, BP Migas, Kadin Institute Jatim, dan Asosiasi Panas Bumi Indonesia.
Menurut dosen UI itu, ada empat hingga lima alasan yang menyebabkan PLTN hampir tidak mungkin di Indonesia, yakni PLTN akan mengharuskan Indonesia mengimpor uranium, karena uranium Indonesia tidak ekonomis.
"Alasan lain, dunia tidak akan mengizinkan Indonesia melakukan pengayaan uranium, karena Iran saja dilarang, meski pemerintahnya melawan," katanya. Selain itu, alasan yang cukup berat adalah Indonesia merupakan "kawasan gempa" sehingga risikonya tinggi.
"Kalau pun dibangun dengan tahan gempa, tentu biayanya akan mahal, sehingga harganya nuklir juga tidak akan murah, bahkan perlu subsidi," katanya. Namun, alasan yang juga penting adalah Jepang sudah mematikan 54 unit PLTN pada dua minggu lalu, kemudian Jerman berencana mematikan seluruh PLTN-nya pada tahun 2025.
"Jadi, DEN merekomendasikan PLTN sebagai pilihan terakhir. Artinya, nuklir nggak akan dipilih selama energi alternatif (energi baru terbarukan/EBT) masih ada, apalagi energi alternatif di Indonesia paling beragam di dunia," katanya.
Senada dengan itu, anggota DEN Prof Mukhtasor PhD menilai PLTN itu membutuhkan dukungan finansial yang mahal untuk antisipasi risiko. "Jepang saja memerlukan ratusan triliun untuk bangkit dari risiko nuklir yang dialami, apakah kita punya anggaran sebesar itu? APBN kita saja tidak sampai ratusan triliun," kata dosen ITS Surabaya itu.
Oleh karena itu, katanya, pemerintah sebaiknya melirik energi alternatif di Indonesia yang cukup banyak, bahkan dunia juga akan melirik EBT karena harga EBT dengan energi konvensional akan setara pada tahun 2020. "Kalau dunia internasional sudah berpaling ke EBT, apakah kita tidak sebaiknya memikirkan hal itu sejak sekarang ? Daripada mikir PLTN yang mungkin tidak akan mampu menanggung risikonya," katanya.