REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR - Kritikan demi kritikan tertus bergulir terkait grasi yang diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Schapelle Leigh Corby. Bagi Guru Besar Universitas Udayana, Yohanes Usfunan, pemberian grasi kepada terpidana 20 tahun penjara dari Australia dalam perkara penyelundupan ganja 4,2 kilogram ke Bali, terkesan mendapat perlakuan yang istimewa.
"Perlakuan istimewa itu dinilai sangat kontradiktif disaat pemerintah Indonesia gencar memberantas kejahatan narkoba yang mengganggu kelangsungan hidup bangsa dan Negara Indonesia," ujarnya di Denpasar, Jumat (31/5).
Guru besar hukum tata negara Fakultas Hukum Unud itu mengatakan, pemerintah seharusnya konsisten dalam memerangi kejahatan narkoba dan tidak ada kompomi dengan memberikan grasi kepada penyelundup benda haram.
Menurut Humas Pengadilan Negeri Denpasar Amzer Simanjuntak grasi Corby tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 22/G Tahun 2012. Keputusan itu ditetapkan pada tanggal 15 Mei 2012.
Presiden memberikan grasi atau pengampunan terhadap Corby sebesar lima tahun, dari vonis hukuman 20 tahun menjadi 15 tahun penjara. Corby telah menjalani hukuman sejak ditangkap di Bandara Ngurah Rai, Bali pada 8 Oktober 2004 lalu.
Prof Usfunan menilai, pemberian grasi itu memang tidak bisa diganggu gugat, karena merupakan hak prerogratif Presiden. Pemberian itu didasarkan atas pertimbangan kemanusiaan.
"Meskipun demikian karena Corby terkesan mendapat keistimewaan dibanding napi lainnya hal itu patut disesalkan dan mudah-mudahan tidak terulang lagi terhadap pelaku kejahatan lainnya di masa mendatang," harap Prof Usfunan yang juga konsultan UNDP PBB di Timur Leste untuk bidang pembuatan Undang-Undang.