REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung diminta bersikap tegas dengan menolak Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Bareskrim Polri terkait lima tersangka dugaan korupsi pengadaan alat simulator di Korps Lalu Lintas. Desakan itu disampaikan Indonesia Corruption Watch dengan alasan penanganannya cacat hukum.
"Kejagung harus menolak SPDP itu. Mana bisa menerima penyidikan yang bukan wewenang mereka (Bareskrim Polri)," kata Peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah di Jakarta, Kamis (2/8).
Cacat hukumnya penanganan kasus itu oleh Bareskrim Polri, sudah tertuang di dalam Pasal 50 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (4) Undang-Undang (UU) Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pasal 30 ayat (3) menyebutkan jika KPK sudah melakukan penyidikan kasus terlebih dahulu maka polisi dan jaksa tidak punya kewenangan lagi menangani kasus tersebut. Kemudian Pasal 30 ayat (4) menyebutkan kalaupun penyidikan dilakukan bersamaan maka polisi dan jaksa harus menghentikannya. "Ini sudah jelas, jika polisi tidak punya kewenangan menangani kasus tersebut," katanya.
Ia juga mempertanyakan kenapa polisi tiba-tiba langsung menaikkan status penanganan kasus tersebut serta menyebutkan ada tersangka setelah KPK melakukan penggeledahan di kantor Korlantas pada 27 Juli 2012.
"Jika benar polisi tengah menyelidiki kasus itu, kenapa berkas-berkasnya masih di Korlantas bukannya disita dan disimpan di Bareskrim Polri," katanya. Karena itu, ia berharap pimpinan kepolisian berjiwa besar menyerahkan penanganan kasus itu ke pihak KPK.
Sebelumnya, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri, Brigjen Pol Anang Iskandar menyebutkan SPDP sudah diserahkan ke Kejagung dan sejak 1 Agustus 2012 penyidik Bareskrim telah menetapkan lima tersangka.