REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Saksi dalam kasus suap terhadap sejumlah anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004 membenarkan adanya pengarahan untuk memilih Miranda Swaray Goeltom.
"Ada pertemuan di Hotel Dharmawangsa untuk meyakinkan teman-teman Fraksi PDI-P di Komisi IX agar memilih Miranda dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior," kata mantan anggota Komisi IX dari fraksi PDI-P, Agus Condro, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (9/8).
Agus telah menjalani hukuman satu tahun tiga bulan karena bersalah menerima cek pelawat dalam pemilihan DGSBI 2004, saat ia masih menjabat sebagai anggota DPR. Ia juga dianggap sebagai "whistle blower" yang menjerat sejumlah anggota DPR karena menerima 480 cek pelawat dengan nilai total Rp 24 miliar.
Pertemuan di Hotel Dharmawangsa pada 29 Mei 2004 tersebut kemudian dilanjutkan dengan rapat kelompok fraksi (poksi) di DPR. Menurut Agus, pimpinan poksi, Tjahyo Kumolo, saat itu mengatakan Miranda bersedia untuk memberikan uang.
"Saya mendengar kalau Pak Tjahyo mengatakan bahwa Bu Miranda akan memberikan Rp 300 juta. Tapi kalau kita minta Rp 500 juta Bu Miranda juga tidak keberatan," kata Agus.
Dalam pertemuan tersebut, menurut Agus, Miranda juga hadir sebentar dan mengatakan terima kasih bila didukung dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. Walau demikian, kata Agus, meski poksi tidak mengarahkan atau Miranda menjanjikan imbalan, dia tetap akan memilih Miranda karena kompetensi dan pengalamannya tidak diragukan dibanding calon lain.
Sehari setelah hari pemilihan Deputi Gubernur Senior, yaitu pada 8 Juni, Agus kemudian dipanggil ke ruang Emir Moeis selaku pimpinan Komisi IX. "Di sana ada Pak Dudy Makmun Murod yang memberikan amplop. Dalam pikiran saya, amplop ini yang dimaksudkan sebagai uang Rp 300 juta," ungkap Agus.
Amplop tersebut ternyata berisi cek pelawat sebanyak 10 lembar yang masing-masing bernilai Rp 50 juta, sehingga total yang diterima Agus adalah Rp 500 juta.