Kamis 11 Oct 2012 19:28 WIB

Hiperinflasi Iran Picu Spekulasi Revolusi (1)

Polisi anti huru-hara Iran siaga setelah membubarkan demonstrasi warga Teheran yang memprotes kenaikan harga-harga (3/10).
Foto: AFP
Polisi anti huru-hara Iran siaga setelah membubarkan demonstrasi warga Teheran yang memprotes kenaikan harga-harga (3/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Iran kembali menyita perhatian internasional pekan lalu, bukan soal kontroversi fasilitan nuklirnya melainkan inflasi yang kian tak terkendali. Mata uang Iran, riyal, dengan cepat menjadi tak bernilai.

Pekan lalu pula nilai riyal yang terus merosot tajam memicu protes serius di Iran. Pertanyaan berikutnya apakah hiperinflasi yang sedang berlangsung di Iran akan mengubah dan menundukkan negara itu. Barat pasti berharap demikian.

Itulah tujuan utama dari semua sanksi ekonomi yang diterapkan, terutama embargo minyak Iran hingga pelarangan impor barang-barang komoditas nonmigas. Bank-bank Iran mau tak mau dibekukan dari segala sistem keuangan internasional.

Sanksi AS dan sekutunya sepenuhnya berlaku pada Juli lalu. Sementara situasi di Iran, berdasar laporan yang dilansir Business Insider, hanyalah di awal proses kian memburuk. Otoritas keuangan negeri mullah itu diprediksi kehabisan cadangan mata uang asing sebab mereka memerlukannya demi mempertahkan nilai riyal yang terjun bebas.

Bukti bahwa Bank Central Iran mulai kehabisan amunisi, menurut kepala strategi CEEMEA dari BNP Paribas, Bartosz Pawlowski, terjadi tiga pekan lalu. Saat itu pemerintah Iran membuka 'pusat perdagangan mata uang asing' yang menjual dolar AS 2 persen di bawah pasar gelap di jalanan.

Cara ini seharusnya--menurut harapan pemerintah Iran--mampu menekan transaksi mata uang asing, terutama dolar, di pasar gelap. Penting diketahui perdagangan mata uang di pasar gelap menjadi satu pendorong terbesar devaluasi riyal

Namun, rencana pemerintah menjadi bumerang ketika warga Iran berbondong-bondong ke pusat penukaran untuk mengganti riyal dengan dolar. Pawlosky, menyatakan aksi 'geruduk' itu membuat permintaan mata uang fisik kian nyata dan terlihat.

"Saat ini belum ada kabar mengenai langkah pemerintah untuk membatasi depresiasi atau memberikan subsidi bagi kebutuhan pokok yang harganya juga meroket," papar Pawlosky. "Kekhawatiran utama dari ketiadaan respon pemerintah diduga akibat cadangan devisi negara menyusut lebih cepat dari yang diperkirakan," imbuhnya.

Bila itu terjadi, maka kurva hiperinflasi, kata Pawlosky, akan bergerak parabolik. Pekan lalu pula rasa frustrasi rakyat Iran tumpah ke jalanan dalam bentuk  protes berakhir rusuh. Pertanyaan selanjutnya apakah hiperinflasi akan mengarah pada revolusi baru? (bersambung)

Berikut tabel devaluasi nilai riyal dalam 70 hari terakhir. (Catatan: Tahun 1391 adalah tahun kalender Iran)

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement