REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Grasi yang diberikan Presiden tidak untuk gembong narkoba. Melainkan, untuk terpidana narkoba yang hanya menjadi kurir narkoba.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Djoko Suyanto, meminta pembatalan hukuman mati yang dikeluarkan Mahkamah Agung (MA) untuk gembong narkoba dibedakan dengan grasi presiden pada kasus tindak pidana narkoba yang sangat selektif.
"Jangan sampai dicampuradukkan dengan hukuman yang diterapkan MA dengan grasi yang diberikan presiden," kata Djoko, saat Rapat Paripurna Setingkat Menteri di Gedung Menko Polhukam, Selasa (16/10).
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Amir Syamsuddin, menambahkan, sejak tahun 2004 sampai 2011 terdapat 128 permohonan grasi khusus untuk kasus narkoba. Dari 128 permohonan grasi tersebut hanya 19 orang yang dikabulkan grasinya, sedangkan 109 sisanya ditolak.
Dari 19 orang yang dikabulkan grasinya itu hanya 3 orang yang divonis hukuman mati. "Tidak ada satupun gembong narkoba. Mereka itu rata-rata adalah kurir," kata Amir. Lebih khusus, kata Amir, pemberian grasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Deni Setia Maharwa alias Rapi Mohammed Majid, murni pertimbangan kemanusiaan.
Amir menceritakan, Deni adalah pegawai PNS dari Pemkab Sukabumi yang memiliki istri yang bekerja sebagai guru sekolah dan seorang anak. Deni, tergoda untuk mendapat upah yang tidak seberapa besar untuk menjadi kurir pengantar narkoba ke London, namun tertangkap di Bandara Soekarno-Hatta.
"Deni bukan produsen narkoba. Dia hanya orang kecil yang mimpi bisa membayar hutang dan mengatasi problem ekonominya yang pas-pasan," kata Amir. Kisah itu juga, kata Amir, diceritakan Deni dalam surat permohonan pengampunan dan grasinya kepada Presiden. Atas pertimbangan itu, presiden mengabulkan permohonan grasi Deni dan kemudian mengubah hukumannya dari hukuman mati menjadi seumur hidup.