REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pengamat investasi, Eko B Supriyanto meyakini keberadaan Undang Undang (UU) Kelembagaan Mikro dapat meminimalkan jumlah investasi 'bodong' di Indonesia karena memperketat gerak oknum tak bertanggung jawab yang memanfaatkan investasi masyarakat.
"Memang sampai sekarang data tentang besaran dana investasi yang termasuk investasi 'bodong' susah didapatkan.
Tapi, kami memiliki catatan ada 70-an kasus investasi bodong antara tahun 2002 hingga 2012," ujarnya di sela diskusi 'Mewaspadai Investasi Bodong', di Surabaya, Selasa (20/11).
Ia optimistis dengan segera ditetapkannya undang-undang kelembagaan mikro maka kebijakan tersebut dapat menentukan siapa dan lembaga mikro seperti apa yang akan diawasi.
"Bahkan, kebijakan itu secara otomatis mampu menindak tegas banyaknya koperasi di Indonesia yang selama ini melakukan tindak kejahatan keuangan terhadap anggotanya," ujarnya.
Apalagi, sampai saat ini Bank Indonesia (BI) sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi pergerakan keuangan yang berputar di sejumlah koperasi di pasar nasional.
"Padahal, mayoritas dari pengelola lembaga tersebut adalah koperasi 'abal-abal' yang dengan mudah mengeruk keuntungan sangat besar dari masyarakat," katanya.
Kondisi itu, dibenarkan Pengamat Hukum, M Mahendradatta. Ia mencontohkan, salah satunya kasus investasi 'bodong' yang dilakukan Koperasi Langit Biru dan merugikan masyarakat hingga Rp 6 triliun.
"Awalnya, Koperasi Langit Biru berkedok sebagai koperasi dengan latar belakang bisnis daging," katanya.
Namun, tambah dia, setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut maka modal tiap anggota tidak berupa bisnis daging melainkan dipakai pengelola Koperasi Langit Biru untuk membeli sejumlah tanah.
Selain itu, investasi masyarakat di koperasi tersebut juga berwujud beberapa mobil untuk melancarkan biro perjalanan dengan rute Jakarta-Bandung.
"Pada kasus Koperasi Langit Biru, besaran investasi masing-masing calon anggota koperasi hanya dikenakan Rp 65.000 perkilogram daging," katanya.
Walau nilai investasinya minim, lanjut dia, koperasi yang memiliki enam orang pengurus justru merugikan masyarakat Rp 6 triliun. Situasi tersebut bisa terjadi karena pola penanaman modal di sejumlah koperasi terkategori mudah.
"Oleh karena itu, kami meminta Kementerian Koperasi dan UKM untuk segera menerapkan strategi khusus untuk mengatasi kian banyaknya koperasi abal-abal di Indonesia," katanya.