REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pengusaha Hartati Murdaya selama 18 tahun berinvestasi di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah mengaku tak pernah mendapat fasilitas dan kemudahan dari pemerintah. Bahkan sebaliknya perusahaannya justru semakin tertekan.
Hal itu dikatakan Denny Kailimang SH, kuasa hukum Hartati Murdaya, menanggapi keterangan saksi Totok Lestyo pada persidangan kasus Buol di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.
Menurut dia, tiap ganti bupati berganti pula masalah hingga akhirnya tak bisa mengelak dari kasus hukum hanya karena memenuhi permintaan uang seorang bupati.
"Ini perusahaan sudah 18 tahun beroperasi dan andilnya sangat besar memajukan ekonomi daerah Buol. Ini bukannya mendapat keistimewaan tetapi perusahaan malah terus ditekan," katanya.
Sebelumnya, mantan direktur PT Hardaya Inti Plantation(HIP) Di depan majelis hakim Totok Lestyo mengatakan pemberian uang Rp2 miliar ke Bupati Buol Amran Batalipu dilakukan bukan atas perintah Hartati Murdaya, melainkan atas inisiatif dirinya sendiri.
Dikatakan, jika pihaknya tidak memberi bantuan ke Bupati Buol, maka dikhawatirkan akan diganggu lagi dan akan membahayakan perusahaannya sehingga ruginya lebih besar. "Jadi tidak ada jalan lain harus membantu dulu supaya perusahaan kita bisa selamat (dari gangguan)," kata Totok Lestyo.
Ditambahkan, dirinya memberi bantuan Rp2 miliar ke Bupati Buol tanpa melaporkan terlebih dulu kepada Hartati Murdaya.
Sementara itu, Menurut Denny Kailimang, tahun 1993 Hartati Murdaya mulai membangun kebunan kelapa sawit di Buol tidak semata untuk mencari keuntungan, tapi didasari niat memajukan kawasan timur Indonesia yang masih sangat tertinggal.
Dari 100 investor yang diundang hanya Hartati seorang yang benar-benar merealisasikan investasinya di Buol. Akan tetapi niat baik itu harus terbentur dengan mentalitas birokrasi kita yang tidak ramah investor.
"Perusahaan mendapat ijin lokasi dan ijin prinsip 75 ribu hektare, mestinya kan sudah menjadi hak kita untuk mendapat Hak Guna Usaha (HGU),tapi kenyataannya malah terus ditekan dan dipersulit oleh pemerintah setempat," katanya.
Perusahaan sudah berjalan dengan baik, imbuh Denny, lalu tiba-tiba ganti bupati. Kebetulan bupatinya minta dana. Akhirnya Hartati Murdaya tak bisa mengelak sehingga harus ikut terseret dalam kasus hukum.
Yang lebih parah lagi, tambah Denny Kailimang, pemerintah daerah tidak saja mempersulit perijinan yang menjadi hak PT HIP, melainkan justru mengundang dan "memanjakan" investor lain yang baru masuk, sehingga terkesan ada diskriminasi terhadap perusahaan yang telah lama berinvestasi dan telah berjasa besar memajukan ekonomi daerah setempat.