REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Direktur Surabaya Survey Centre (SSC) Mochtar W Oetomo menegaskan bahwa hasil survei yang dilakukannya menunjukkan bahwa pemilihan kepala daerah dari waktu ke waktu semakin tidak menarik perhatian publik.
"Buktinya, tingkat partisipasi pemilih di berbagai pilkada semakin hari cenderung semakin menurun. Paling mutakhir adalah kecilnya tingkat partisipasi pemilih di Sampang, Bangkalan, dan Nganjuk pada pilkada 12-12-12," katanya di Surabaya, Kamis.
Berdasarkan hasil riset SSC, tingkat partisipasi pemilih pada pilkada di tiga kabupaten itu sangat memprihatinkan. Paling parah adalah partisipasi pemilih di Pilkada Kabupaten Bangkalan yang hanya mencapai angka 58,50 persen.
"Artinya, angka golput atau melakukan kesalahan teknis dalam pemilihan itu mencapai 41,50 persen di Bangkalan, lalu dalam Pilkada Kabupaten Nganjuk dengan partisipasi pemilih hanya 60 persen dan hanya Pilkada Kabupaten Sampang yang partisipasi pemilihnya lumayan besar, yakni 75 persen," katanya.
Dalam pilkada itu, Pilkada Kabupaten Sampang dimenangkan pasangan Al Falah (Fannan Hasib-Fadillah Budiono), Pilkada Bangkalan dimenangkan oleh pasangan Makmur (Ra Momon-Ra Mondir), dan Pilkada Kabupaten Nganjuk dimenangkan oleh pasangan Taqwa.
Menurut dia, rendahnya angka partisipasi pemilih dalam pilkada itu merupakan suatu ironi demokrasi, karena tegaknya demokrasi dalam suatu negara juga amat ditentukan oleh tingkat partisipasi publik dalam pemilihan umum.
"Rendahnya partisipasi pemilih ini sekaligus menunjukkan kegagalan proses-proses agregrasi, rekruitmen, artikulasi, konsolidasi, dan mobilisasi politik yang menjadi tanggung jawab partai politik," kata dosen Komunikasi Politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM) itu.
Alumni Universiti Sains Malaysia itu menyatakan rendahnya partisipasi pemilih di berbagai pilkada menunjukkan bahwa pilkada tidak lagi menjadi momentum yang menarik dan menggairahkan publik seperti beberapa tahun sebelumnya.
"Itu disebabkan banyak hal, di antaranya adalah tidak menariknya kandidat-kandidat yang bertarung dalam pilkada. Publik merasa jenuh dan bosan dengan kontestasi para kandidat yang dari pilkada satu ke pilkada berikutnya hanya diisi dan didominasi oleh sosok itu-itu saja," katanya.
Realitas tersebut menunjukkan bahwa partai politik gagal dalam melakukan proses kaderisasi, terbukti tidak mampu menyediakan kandidat yang diusung sebagai "magnet" yang mampu menarik publik untuk datang ke bilik suara.
"Jadi, parpol telah gagal, apalagi tidak menariknya kandidat yang layak dipilih oleh publik tersebut kadang diperparah dengan perilaku para kandidat yang umumnya tidak siap kalah itu dengan menghalalkan segala cara untuk menang melalui 'black campaign' hingga 'money politics'," katanya.
Ia mengatakan tanpa adanya evaluasi mendasar yang dilakukan parpol akan menurunkan gairah publik untuk berpartisipasi, karena tidak ada kandidat yang istimewa, tidak ada debat dan tawaran program yang menarik dan berhubungan langsung dengan kebutuhan dan kepentingan publik atau pemilih.
"Perlu diingat, fenomena menurunnya peminat pilkada itu tidak hanya di Jatim, namun di provinsi lain juga ada kecenderungan itu," katanya.