REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) mengungkapkan sedikitnya 200-300 kasus permasalahan TKI terjadi setiap tahunnya.
"Untuk 2010-2011 lalu ada 200-300 kasus terjadi. Sedangkan untuk tahun 2012 masih belum diketahui jumlahnya," kata Ketua Umum APJATI, Ayub Basalamah, Selasa (1/1).
Ayub menjelaskan, ratusan kasus yang melibatkan TKI tersebut tidak hanya meliputi tindak kekerasan yang dialami oleh pahlawan devisa itu tapi juga mencangkup kasus gaji TKI yang tidak dibayar, TKI yang tidak betah, atau TKI yang tidak cocok dengan lingkungan kerja.
Menurut Ayub banyaknya kasus yang menimpa TKI seringkali disebabkan salah paham budaya akibat minimnya penguasaan bahasa para TKI. "Kendala bahasa menyebabkan salah paham budaya TKI di tempat kerja sehingga berujung pada kekerasan," kata Ayub.
Bahasa, tutur Ayub, memang menjadi kendala komunikasi TKI. Padahal, pembelajaran bahasa telah mendapat porsi yang cukup besar dalam pendidikan TKI di Balai Latihan Kerja (BLK). "Pendidikan bahasa seringkali tidak ditekankan di BLK dan juga di penampungan," kata Ayub.
Ketua Bidang Pelatihan dan Pengembangan APJATI, Abdullah Syakir mengatakan perlu ada pembenahan mengenai pendidikan TKI di BLK. "Seharusnya dibuat pola pendidikan sesuai adat istiadat negara penempatan. Jika mungkin, pelatihan yang minimal 200 jam di BLK ditingkatkan menjadi 400 jam," katanya.
Syakir mengatakan selama ini 50 persen dari waktu pelatihan TKI di BLK ditujukan untuk belajar bahasa. "Lima jam perhari pelajaran bahasa, 5 jam lagi ketrampilan teknis," kata Syakir.
Meski begitu, tidak banyak TKI yang memenuhi kualifikasi jam pelatihan selama di BLK. "Kadangkala 200 jam pelatihan itu tidak dipenuhi. Pemerintah daerah pun tidak menekankan pemenuhan 200 jam pelatihan. Akibatnya TKI belum siap sudah dikirim," kata Syakir.