REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Pengamat pendidikan Darmaningtyas mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus status Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) merupakan tamparan bagi DPR yang mengesahkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Kalau DPR merasa, seharusnya ini tamparan keras bagi mereka. Namun, DPR kan sering tidak peduli jadi tidak akan merasa," kata Darmaningtyas dihubungi di Jakarta, Rabu.
Pengurus Majelis Luhur Taman Siswa itu mengatakan justru sebagai lembaga yang menjalankan undang-undang, Kementerian Pendidikan dan kebudayaan tidak perlu merasa tertampar atas putusan MK itu.
Sebab, menurut dia, lembaga yang membuat dan mengesahkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional adalah DPR, sehingga seharusnya penghapusan status RSBI menjadi tamparan bagi lembaga legislatif.
"Apalagi, putusan MK tentang RSBI ini merupakan 'judicial review' keempat terhadap Undang-Undang Sisdiknas yang diajukan ke MK dan keempatnya dikabulkan. Itu menunjukkan bahwa Undang-Undang Sisdiknas bermasalah," ujarnya.
Dia mengatakan "judicial review" terhadap Undang-Undang Sisdiknas yang dikabulkan MK adalah pasal 49 tentang anggaran pendidikan, pasal 53 tentang Badan Hukum Publik dan pasal 55 tentang bantuan bagi sekolah swasta.
Sebelumnya, MK memutuskan mengabulkan permohonan penghapusan RSBI di sekolah-sekolah pemerintah karena bertentangan dengan UUD 1945 dan merupakan bentuk liberalisasi pendidikan.
"Ini merupakan bentuk baru liberalisasi dan dualisme pendidikan serta berpotensi menghilangkan jati diri bangsa dan diskriminasi adanya biaya yang mahal," kata Ketua MK Mahfud MD saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (8/1).
MK mengabulkan permohonan sejumlah orang tua murid dan aktivis pendidikan untuk menguji pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional yang tidak bisa mengakses satuan pendidikan RSBI dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) karena mahal.
Orang tua murid yang mengajukan "judicial review" adalah Andi Akbar Fitriyadi, Nadia Masykuria dan Milang Tauhida bersama sejumlah aktivis pendidikan yaitu Juwono, Lodewijk F Paat, Bambang Wisudo dan Febri Antoni Arif.