Kamis 14 Feb 2013 17:12 WIB

Pemerintah Batasi Gerai Rumah Makan

Rep: Dwi Murdaningsih/ Red: Nidia Zuraya
Sebagian kafe liar di Jalan Bugis, Jakarta Utara.
Foto: dinsos.jakarta.go.id
Sebagian kafe liar di Jalan Bugis, Jakarta Utara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah resmi mengatur pengembangan kemitraan dalam waralaba untuk usaha jasa makanan dan minuman. Dalam peraturan Menteri Perdagangan nomor 07/M-DAG/PER/02-2013 ini membatasi gerai yang dimiliki sendiri paling banyak 250 outlet.

Aturan ini berlaku untuk jenis usaha restoran, rumah makan, bar atau rumah minum dan kafe. Setelah melewati batas 250 gerai, pendirian gerai tambahan harus diwaralabakan atau kerja sama dengan pola penyertaan modal.

Dalam peraturan yang diteken Menteri Perdagangan Gita Wirjawan pada 11 Januari ini, pemerintah juga mengatur komposisi kemitraan untuk usaha rumah makan dan rumah minum. Pengaturan ini didasarkan pada nilai investasi outlet. Pemerintah mengatur bagi outlet dengan nilai investasi kurang dari atau sama dengan Rp 10 miliar, penyertaan modal dari pihak lain atau mitra paling sedikit 40 persen. Sementara, untuk investasi lebih dari Rp 10 miliar, jumlah penyertaan modal dari mitra minimal 30 persen.

Regulasi yang baru ini mendapat kritik dari Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (Wali), Amir Karamoy. Menurutnya, pemerintah semestinya tidak perlu mengatur poin mengenai kemitraan yang didasarkan pada penyertaan modal.

Menurut dia, klausul mengenai penyertaan modal harus diatur dalam permendag yang berbeda. Jika diatur bersamaan, akan berpotensi untuk digugat karena ada ketidaksesuaian konsep waralaba yang diatur dalam PP no 42 tahun 2007 dengan pola kemitraan.

Ia khawatir, permendag yang baru saja diterbitkan tidak konsisten dengan aturan sebelumnya yang sudah ada dan berpotensi untuk digugat. "Harusnya ada Permendag sendiri yang mengatur mengenai pola kemitraan," ujar dia saat dihubungi wartawan, Kamis (14/2).

Pengaturan penyertaan modal itu menurut Amir justru tidak akan melahirkan wirausaha baru, padahal niat pemerintah adalah untuk memeratakan usaha. Pasalnya, kata Amir, dengan kepemilikan modal yang sebanyak 30 atau 40 persen itu, membuat mitra selalu terikat dengan pemilik usaha. Kalaupun diatur penyertaan modal, menurut dia pemerintah semestinya memberikan porsi yang lebih besar kepada mitra, bukan kepada pemilik usaha agar memacu lahirnya wirausaha baru.

"Kalau kepemilikannya minoritas, maka dia (mitra) masih akan dikontrol oleh si pemberi usaha. Tidak akan mendorong wirausaha baru," ujarnya.

Pengaturan penyertaan modal ini, kata dia akan menguntungkan rumah makan atau rumah minum asing. Pasalnya kemitraan ini memungkinkan restoran asing bisa menambah gerai dengan melibatkan investasi lokal. Alhasil, bukan tidak mungkin restoran asing makin menjamur, sebaliknya rumah makan lokal malah makin redup.

Meskpun begitu, ia mendukung adanya pembatasan gerai untuk pemerataan usaha. Namun, ia menyayangkan pemerintah tidak mengajak kadin maupun Wali perunding membicatakan masalah ni. "Soal pembatasan saya dukung walaupun 250 itu diperoleh dari mana saya tidak tahu," ujar dia.

Bagi pengusaha yang sudah memiliki company owned lebih dari 250 gerai, pemerintah memberi waktu lima tahunn untuk menyesuaikan aturan tersebut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement