REPUBLIKA.CO.ID, CIPUTAT -- Kepala Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Mohammad Jumhur Hidayat, menuturkan perlindungan TKI informal yang bekerja menjadi Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) di luar negeri sulit dilakukan.
"TKI yang menjadi PLRT atau domestic worker sulit perlindungannya karena 24 jam di rumah dan subjektif hubungan kerjanya," kata Jumhur pada Kuliah Umum 'Peluang dan Tantangan Kerja Profesional di Luar Negeri', di Auditorium Utama UIN Syarif Hidayatullah, Kamis (7/3).
Menurut Jumhur, TKI-PLRT memiliki hubungan kerja yang tidak jelas. Satu TKI-PLRT, kata dia, bisa dipekerjakan sekitar lima sekaligus. "TKI-PLRT tidak jelas hubungan kerjanya. Karena itu sulit melakukan perlindungannya. Maka, moratorium TKI-PLRT diberlakukan di beberapa negara," ujar Jumhur.
Negara-negara tersebut yaitu Arab Saudi, Syiria, Jordania, Malaysia, dan Kuwait. "Tiap tahunnya 35. ribu-40. ribu TKI yang dikirimkan menjadi PLRT disana. Jumlah tersebut memang tidak banyak dari 6,5 juta TKI yang tersebar di 140 negara di dunia dan berasal 90 kabupaten/kota," kata Jumhur.
Jumhur mengatakan moratorium pengiriman TKI-PLRT dilakukan hingga perundang-undangan di negara penempatan berpihak pada TKI-PLRT.
"Di Indonesia ada 30 UU yang melindungi buruh dari berbagai aspek. Mereka bisa melawan jika ditekan. Tapi, tidak ada satupun UU di Indonesia yang mencantumkan perlindungan terhadap PLRT. Di luar negeri juga begitu," kata Jumhur.
Jumhur menambahkan perlindungan TKI tidak hanya dilakukan negara. Dalam diri TKI, kata TKI, perlu untuk melindungi dirinya sendiri.
"Caranya bagaimana? Dengan menyiapkan diri terlatih, terampil, mengerti hak kewajiban, mengerti bahasa dan budaya negara penempatan. Jika itu sudah dipenuhi maka TKI-PLRT bisa melindungi diri sendiri dan tidak mengundang orang lain untuk diekspoitasi," kata Jumhur.