REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memasukkan pasal penghinaan terhadap presiden ke dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 6 Desember 2006 membatalkan Pasal 134, 136, dan 137 KUHP itu lantaran bertentangan dengan UUD 1945.
Empat dari sembilan hakim konstitusi memilih berbeda pendapat (dissenting opinion). Mereka adalah I Dewa Gde Palguna, Soedarsono, H.A.S Natabaya, dan Achmad Roestandi.
Mantan ketua MK Jimly Asshiddiqie mengingatkan pemerintah untuk tidak membuat kebijakan ceroboh. Pasalnya, aturan itu sudah dibatalkan MK yang memiliki kekuatan hukum final dan mengikat.
Sehingga, hasil produk MK itu menjadi paradigma baru dalam politik hukum pidana nasional. “Masuknya kembali pasal lama itu cermin adanya pertarungan feodal kultur kerajaan yang masih besar pengaruhnya yang mengancam ide demokrasi rasional,” kata Jimly, Rabu (3/4).
Permohonan uji materiel itu diajukan pengacara Eggy Sudjana dan aktivis Pandapotan Lubis pada Juli 2006. Mereka menilai, tiga pasal penghinaan presiden itu adalah pasal karet.
Eggy merasa diperlakukan secara tidak adil karena dijerat kasus pencemaran nama baik terhadap presiden hingga harus menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.