REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Premanisme yang menjadi topik hangat belakangan ini dianggap sebagai fenomena dilematis. Anggapan ini muncul menilik pada kejadian pembunuhan empat tahanan di LP Cebongan, Sleman, Yogyakarta, oleh anggota TNI bulan Maret lalu.
Kejadian tabu tersebut sempat mendapat caci masyarakat yang melihat perilaku oknum TNI ini sebagai bentuk main hakim sendiri. Pasalnya, diketahui aksi anggota TNI dari satuan Kopassus tersebut dilatari dendam kepada para korban yang telah mengeroyok rekan satu baret mereka hingga tewas.
Di sisi lain, tak disangka semakin hari perbuatan mereka tersebut malah kian mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Lantaran korban pembunuhan anggota Kopassus ini ialah komplotan preman yang dikenal meresahkan warga Sleman dan sekitarnya.
Simbol apresiasi ini kian kentara setiap harinya. Bahkan, di Yogyakarta sejumlah pemuda yang mengaku mewakili aspirasi masyarakat setempat mendukung tindakan anggota TNI yang sebenarnya melanggar hukum ini.
"Di Yogyakarta ada spanduk ‘Sejuta preman mati, rakyat Yogyakarta tidak rugi’. Ini jelas ada yang tidak beres pada pemahaman masyarakat terkait pemberantasan premanisme," kata Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Bambang Widodo Umar ketika dihubungi Republika di Jakarta, Selasa (9/4).
Pria bergelar professor ini berujar sikap masyarakat yang dituangkan dalam kalimat di spanduk itu justru seolah membenarkan upaya pemberantasan preman dengan cara pembunuhan. Menurutnya, satu hal yang dilupakan oleh masyarakat bahwa para preman ini juga merupakan warga negara Indonesia (WNI).
"Mereka (preman) ini bagian dari bangsa kita juga. Jangan sampai semua apresiasi yang ditujukan malah menjadi sikap antikemanusiaan. Kinerja aparat perlu ditingkatkan," ujar Bambang.