REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menegaskan hak diskresi kepala daerah yang diatur dalam RUU Pemda ada batasannya, sehingga tidak menjadikan setiap kepala daerah dapat kebal hukum.
"Diskresi itu ada batasannya dan diatur agar apa yang dikhawatirkan tidak terjadi. Ada beberapa syarat, termasuk (melakukan invoasi) tidak melanggar hukum," jelasnya di gedung Kemdagri di Jakarta, Selasa (23/4).
Sejumlah kekhawatiran yang muncul dengan diaturnya hak diskresi tersebut, antara lain kepala daerah dapat menyalahgunakan wewenang dan jabatan untuk kepentingan pribadi.
Pada pasal 269 RUU Pemda, yang saat ini masih dibahas di DPR RI, disebutkan bahwa dalam hal pelaksanaan inovasi yang telah menjadi kebijakan Pemda dan inovasi tidak mencapai sasaran yang telah ditetapkan, aparatur daerah tidak dapat dipidana.
Klausul tersebut diasumsikan bahwa kepala daerah dapat kebal terhadap hukum dan bisa berlindung di balik alasan 'inovasi' atas perbuatan korupsi. Selain itu, pasal tersebut bisa digunakan sebagai upaya berlindung dari hukum bagi para kepala daerah.
"Ini (menyangkut) kreativitas, artinya kepala daerah berani menerobos inovasi tanpa korupsi. Tapi ketika suap terjadi, itu bukan inovasi," katanya menegaskan.
Dengan adanya sejumlah ketentuan yang mengatur hak diskresi kepala daerah, Mendagri berharap setiap kepala daerah dapat menggunakan hak tersebut dengan bijaksana, jika nanti klausul tersebut disetujui DPR.
Mendagri mencontohkan kebijakan mengenai pembangunan rumah untuk transmigran di suatu daerah transmigrasi. Jika hingga Desember proyek pembangunan rumah belum selesai, sementara para transmigran sudah berdatangan, maka pembangunan itu tidak bisa berhenti.
Hak diskresi adalah kebebasan bagi setiap kepala daerah untuk mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah daerah.