REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat belum menempatkan koruptor sebagai musuh utama. Koruptor yang telah menjalani hukuman seringkali menempati posisi terhormat dalam struktur organisasi sosial kemasyarakatan.
"Di masyarakat, koruptor belum sehina maling atau pencuri ayam," kata Staf Ahli Jaksa Agung M. Amari di Jakarta, Kamis (9/5). Amari mengatakan, menjadi koruptor jauh lebih enak daripada maling ayam. Hal ini karena proses sanksi yang diterima maling ayam berlangsung seketika tanpa proses pembuktian hukum.
Sedangkan koruptor, meskipun sudah terbukti bersalah masih sering dihormati. Kondisi semacam ini akhirnya membuat para pelaku korupsi tidak jera. "Orang ditangkap KPK, polisi atau jaksa hanya orang yang apes saja," ujar Amari.
Tak cuma dihormati, para mantan narapidana kasus korupsi ternyata juga banyak yang kembali menduduki posisi sebagai pejabat negara. Berbagai perlakuan istimewa yang diterima koruptor membuat mereka tidak jera mengulangi perbuatan korupsi.
"Kami dapat data dari Kemendagri pejabat-pejabat di daerah yang korupsi dan telah melaksanakan hukuman diangkat lagi menjadi pejabat negara," kata mantan Jaksa Agung Muda (JAM) Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Agung.
Amari menyatakan pemberantasan korupsi mesti menitikberatkan upaya pencegahan. Hal ini jauh lebih efektif ketimbang hanya mengandalkan langkah penindakan. "Seharusnya kita mencontoh Korea. Di sana faktor pencegahan sangat dikedepankan. Semua aturan yang memberikan peluang korupsi ditutup," ujar Amari.