REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-undang yang mengatur Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas) masih menimbulkan persoalan. Sebagai salah satu ormas besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) mengambil sikap agar RUU ini ditunda.
Wasekjen PBNU Adnan Adwar, mengatakan sikap yang diambil oleh pihaknya ini sudah tepat, mengingat RUU ini masih memunculkan sikap kontroversial dari berbagai organisasi massa lainnya. "Ini berarti masih ada yang belum sepakat, termasuk kami," ujarnya kepada Republika, Rabu (29/5).
Menurut dia, panitia kerja RUU ini perlu memahami lebih dalam hingga masalah mendetail di dalamnya. "Jangan tersburu-buru karena ini menyangkut kelangsungan hidup ormas-ormas yang ada," ujarnya.
Penundaan ini menurt dia, perlu dilakukan karena dalam draft RUU tersebut, masih banyak aspek-aspek yang perlu dikaji lebih dalam. Perlu dilihat lebih jernih sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan.
Menurut dia, perlu dilakukan upaya pendalaman pada naskah akademik agar lebih komprehensif. Misalnya tentang aspek eksplorasi, bentuk kontribusi ormas yang telah lahir sebelum Indonesia merdeka tentu statusnya berbeda dengan ormas-ormas baru. "Naskah akademik yang sekarang kurang spesifik," paparnya.
Ia memaparkan banyak aspek yang tertuang di dalam RUU ini menggunakan perspektif barat, seperti asas berserikat dan berkumpul, serta instrumen internasional. "Kekhasan prinsip ormas asli Indonesia tidak tampak di dalamnya," katanya.
Hal ini menyebabkannya RUU yang sedang disusun ini kurang mengakomodasi banyak ormas yang ada di Indonesia. Ormas merupakan ciri khas Indonesia.
Tidak di setiap negara ada ormas seperti ini, apalagi yang ikut mengawal negaranya menjadi merdeka dan mengisinya dengan kegiatan yang positif, tetap berprinsip pada agama namun tetap menjalankan kewajibannya sebagai warga negara.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah tidak adanya perbedaan hak dan kewajiban pada ormas yang sudah besar dan telah berdiri lama, dengan ormas baru apalagi jika anggotanya hanya dua tiga orang dan tidak jelas. "Semut jangan disamakan haknya dengan gajah," katanya.
Pengertian ormas disini perlu diklarifikasi menurutnya. Ormas merupakan organisasi yang punya struktur yang jelas dan bertanggung jawab, dengan ada periodenya.
Sedangkan bentuk lain seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), menurutnya bukanlah ormas, sehingga perlu dipisah. LSM telah masuk dalam kategori yayasan, jadi tidak boleh mempunyai hak seperti ormas.
"Opsi lain sebagai jalan keluar adalah dengan membuat badan hukum ormas, namun ini sebuah pekerjaan besar lagi," paparnya.
Menurut dia, penyusun draft RUU ini seharusnya adalah ormas itu sendiri, sehingga bisa tahu kondisi secara faktual di lapangan. "Bukan seperti sekarang, yang malah dari LSM dari Jerman penyusunnya," katanya.
Jalan pemberian keistimewaan pada dua ormas besar di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah, menurutnya bukan sebuah jalan keluar yang menjawab persoalan ini. "Karena tidak terlalu elementer," tuturnya.
Untuk itu, pihak NU mengatakan RUU ini perlu ditunda terlebih dahulu, jangan dipaksakan karena nanti bisa berakibat fatal. "RUU ini rawan diintervensi," katanya.
Draft RUU yang sekarang, menurutnya tidak ada aspek kecirikhasan keormasannya. Pemerintah sendiri beralasan pengaturan ormas dalam UU dilakukan untuk mendorong pembangunan dengan berbasis sistem informasi data ormas di masyarakat.