Ahad 23 Jun 2013 14:27 WIB

Koalisi Kebebasan Berserikat Siap Gugat UU Ormas

Rep: Bilal Ramadhan/ Red: A.Syalaby Ichsan
 Aksi unjuk rasa menolak RUU Ormas di depan komplek Parlemen, Jakarta, Jumat (5/4).  (Republika/Yasin Habibi)
Aksi unjuk rasa menolak RUU Ormas di depan komplek Parlemen, Jakarta, Jumat (5/4). (Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang Organisasi Massa (Ormas) akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 25 Juni 2013 mendatang. Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) menolak pengesahan UU ini dan akan mengajukan Judicial Review jika tetap mengesahkannya.

"Kalau memang tetap disahkan, kita mengupayakannya dengan kerangka hukum yaitu judicial review," kata Kordinator KKB, Fransisca Fitri dalam jumpa pers di kantor Wahid Institute, Jakarta, Ahad (23/6).

Fransisca menambahkan, pihaknya sudah merencanakan serangkaian kegiatan jika DPR tetap mengesahkan UU Ormas. Pasalnya UU ini dianggap sangat bertentangan dengan kebebasan berserikat, berpendapat dan berkumpul.

Hal ini, lanjutnya, dapat dilihat dari adanya data dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tercatat ada sebanyak 29 kasus pelanggaran kebebasan dan berserikat menjelang pengesahan UU ini.

Selain akan mengajukan uji materi, pihaknya juga akan melakukan edukasi terhadap kelompok-kelompok masyarakat di daerah.

Edukasi ini untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bagaimana berhadapan dengan pemerintah terkait dengan pemberlakuan UU tersebut. Dengan begitu masyarakat akan lebih kuat saat berhadapan dengan pemerintah.

Dengan disahkannya UU ini, organisasi harus memiliki badan hukum. Padahal dalam pasal 28 UUD 1945, menjamin hak bagi masyarakat untuk berserikat dan berkumpul tanpa perlu berbadan hukum.

Adanya UU Ormas, menurutnya seperti meniru Rusia yang membentuk peraturan represif terhadap sektor masyarakat sipil pada November 2012 lalu. Kalau sampai UU Ormas disahkan, maka pemerintah jelas-jelas melakukan pendekatan politik terhadap sektor kegiatan sosial.

"RUU Ormas jangan disahkan. UU Ormas yang lama (UU Nomor 8/1985) seharusnya dicabut, bukan direvisi. Gunakanlah pendekatan hukum, benahi UU Yayasan dan tindaklanjuti RUU perkumpulan yang sudah masuk dalam Prolegnas 2010-2014," tegasnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement