REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Media Australia memberitakan rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah disadap saat menghadiri KTT G20 di London, Inggris, pada April 2009 lalu.
Media Australia itu mengutip sumber anonim dari intelijen dan Kementerian Luar Negeri di Negeri Kangguru tersebut. Staf khusus presiden bidang hubungan internasional, Teuku Faizasyah mengatakan pihaknya telah mengkuti kemungkinan sinyalemen tersebut sejak Juni lalu. Ia menilai kemungkinan penyadapan, membuat pengelolaan informasi menjadi semakin penting.
"Kita melihat masalah pengelolaan informasi menjadi semakin penting, yang mana tentunya kita menduga ada pihak-pihak yang ingin mengetahui informasi yang sifanya berangkat dari sinyalemen seperti ini. Kita terus meningkatkan pengamanan informasi," katanya saat ditemui di kantor presiden, Senin (29/7).
Ia mengatakan, insiden Snowden yang belum tuntas masalah suakanya, menjadi titik awal munculnya informasi penyadapan satu negara ke negara lain. Padahal, hal tersebut tidak etis dalam hubungan diplomatis.
"Informasi adalah sesuatu yang didapatkan melalui interaksi dengan proses-proses yang wajar dan dipahami sebagai bagian dari modalitas interaksi. Tindak penyadapan tentu bukan suatu hubungan yang baik dalam hubungan antarnegara," katanya.
Untuk diketahui, dua media Australia yakni The Age dan The Sydney Morning Herald memberitakan rombongan Presiden SBY disadap saat menghadiri KTT G20 di London, Inggris pada 2009. Penyadapan dilakukan intelijen Amerika Serikat dan Inggris meskipun hasilnya dinikmati Australia.
"PM Kevin Rudd menerima keuntungan dari kegiatan mata-mata Inggris pada Presiden SBY pada KTT G20 tahun 2009 di London. PM Rudd memiliki keinginan yang besar akan informasi intelijen, terutama pada pemimpin Asia Pasifik, Yudhoyono, Manmohan Singh (PM India) dan Hu Jintao (mantan Presiden Cina," kata sumber anonim dari intelijen Australia.
Hasil penyadapan itu digunakan untuk mendukung tujuan diplomatik Australia, termasuk dukungan untuk memenangkan kursi di Dewan Keamanan PBB. "Tanpa dukungan intelijen yang diberikan AS, kami tak akan memenangkan kursi itu," kata pejabat di Departemen Luar Negeri dan Perdagangan yang tak mau disebutkan namanya.