REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hukuman mati bisa diberlakukan kepada pelaku kejahatan korupsi dari kalangan pimpinan pejabat tinggi.
Pernyataan itu disampaikan pakar hukum pencucian uang, Yenti Garnasih dalam satu diskusi dengan tema 'Kerja sama Parlemen Asia Tenggara untuk Pemberantasan Korupsi (SEAPAC)' di Gedung DPR, Kamis (3/10). "Kalau presiden menyatakan keadaan dalam darurat korupsi maka Ketua MK bisa dipidana dengan hukuman mati," katanya.
Selain Yenti, turut menjadi nara sumber dalam diskusi itu Wakil Ketua DPR, Pramono Anung dan anggota DPR dari Fraksi PKS, Fahri Hamzah. Menurut Yeni hukum di Indonesia memungkinkan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku kejahatan dari kalangan pimpinan pejabat tinggi.
Dalam Pasal 2 Ayat 2 UU KPK, tambahnya, seseorang bisa dihukum mati kalau kejahatan yang dia lakukan menyebabkan guncangan moneter, keadaan darurat atau terkait dana bencana alam.
Karenanya, hukuman mati bisa dijatuhkan kepada pelaku korupsi yang berasal dari pimpinan pejabat tinggi negara bisa diterapkan, kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan Indonesia sudah berada dalam kondisi darurat korupsi.
Menurut Yenti Ketua MK merupakan simbol tertinggi di bidang peradilan dan penegakkan hukum di Indonesia. Yenti justru menyayangkan pernyataan Presiden yang memuji-muji keberhasilan KPK dalam menangkap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar atas tuduhan suap dalam satu kasus pemilihan kepala daerah di Provinsi Kalimantan Tengah.
"Kenapa Presiden SBY tidak menyatakan agar pelaku kejahatan korupsi dari pimpinan lembaga tinggi negara dihukum seberat-beratnya," katanya.