REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Peneliti dari Fakultas Teknologi Pertanian Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya Ir Restu Tjiptaningdyah MKes menemukan 13 jenis produk kerupuk nonprotein yang dijual di pasar-pasar mengandung boraks antara 11,8 ppm hingga 120 ppm.
"Produk kerupuk memang terdiri dua macam, yakni berprotein dan nonprotein. Kalau kerupuk protein pembuatannya dipadukan dengan udang, kerapu, kupang, dan sebagainya. Sedangkan kerupuk nonprotein hanya dari tepung tapioka, tapi seringkali diberi bleng (mineral garam) yang mengandung boraks," katanya di Rektorat Unitomo Surabaya, Jumat (4/10).
Di sela-sela pertemuan peneliti LPPM Unitomo dengan Rektor Unitomo Dr Bachrul Amiq SH MH, ia mengaku pihaknya tertarik meneliti kerupuk nonprotein karena harganya murah, selalu ada di pasar-pasar tradisional, dan konsumennya masyarakat kelas menengah ke bawah, sehingga edukasi untuk mereka sangat penting.
"Penelitian kami lakukan merujuk pada Permenkes 722/1988 yang menyebut boraks sebagai bahan makanan yang dilarang. Namun faktanya justru mudah ditemukan pada kerupuk nonprotein, mi basah, pentol bakso, dan sebagainya. Bahkan kandungan boraks pada mi basah berkisar 80-90 persen," katanya.
Menurut dia, produk nonprotein dengan kandungan boraks paling sedikit adalah jenis kerupuk keong (kerupuk udel). Sedangkan jenis nonprotein dengan kandungan boraks paling banyak adalah kerupuk puli. "Kalau 120 ppm berarti setiap satu kilogram kerupuk ada 120 miligram atau 0,12 gram kandungan boraks di dalamnya," katanya.
Kendati sedikit, katanya, boraks tetap dilarang, karena bisa menimbulkan gangguan pada liver, ginjal, saraf, otak, dan testis. "Tapi, kami punya solusi untuk menggantikan bleng yang mengandung boraks dengan fungsi sama yakni membuat kerupuk menjadi renyah. Solusinya bisa menggunakan sodium tri poli pospat (STPP), air merang, atau rumput laut yang dimasukkan adonan," katanya.
Menanggapi paparan peneliti LPPM Unitomo yang kini menempuh S3 di Universitas Brawijaya (UB) Malang itu, Rektor Unitomo Dr Bachrul Amiq SH MH berjanji menindaklanjuti hasil penelitian itu dengan melapor ke Kemenkes atau Dinas Kesehatan serta Balai POM.
"Kami juga siap melibatkan para dosen dan peneliti untuk membantu masyarakat membuat kerupuk dengan bahan-bahan yang tidak mengandung boraks tapi produknya tetap renyah. Silakan datang ke kampus untuk belajar bersama-sama, karena masyarakat konsumen harus diselamatkan," katanya.