REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengaku senang saat mendengar orang nomor satu di Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar Ditangkap. Akil ditangkap KPK dalam kasus dugaan suap pemilukada Lebak dan Kalimantan Tengah, Selasa, (8/10).
"Malam-malam ketika Akil ditangkap, saya ditelepon teman. Terus terang saja, sebagai manusia jujur, saya gembira. Itu seperti mengkonfirmasi apa yang telah saya katakan tiga tahun lalu," kata Refly.
Malam itu, ujar Refly, dia mencoba membuktikan ucapan temannya dengan menonton televisi. "Saya menunggu running text soal penangkapan Akil," ujarnya.
Meski demikian, kata Refly, tentu untuk mengadili Akil tetap menggunakan azas praduga tak bersalah. Namun biasanya kalau sudah tertangkap tangan oleh KPK susah lepas. Sebab biasanya KPK sudah punya data dan melakukan pengamatan sejak jauh-jauh hari, hingga tinggal dibuka saja.
Memang, ujar Refly, ia sudah mendengar adanya suap di MK sejak 2010. Pengaduan juga banyak namun, orang yang menyuap tidak mau bicara.
Dulu, kata Refly, ada walikota yang menitipkan uang namun dikalahkan. Ternyata pihak yang akan dikalahkan menitipkan uang dengan jumlah lebih besar.
Menurut Refly, dari pada bicara mengenai hukuman bagi Akil, baik hukuman mati yang disarankan Jimly Asshiddiqie atau hukuman seumur hidup yang disarankan Mahfud MD, lebih baik membicarakan soal memperbaiki MK.