REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Dua tahun yang lalu, sebelum euforia demokrasi mewabah di Suriah, rakyat negara ini masih dikenal sebagai bangsa dengan bahasa terlembut di Arab. "Di seluruh tanah Arab, orang Sham itu paling lembut, bahasanya halus, mereka sangat beradab," kata seorang mahasiswa Indonesia di Yordania tiga tahun yang lalu mengenai Suriah.
Dia meyebutkan, dibandingkan negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, Qatar, Yaman dan lain-lain tutur kata orang Suriah lebih beradab. Apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara berbahasa Arab di Afrika Utara seperti Mesir.
Kata dia, budaya Suriah hanya dapat diimbangi oleh Yordania dan Lebanon.
Walaupun pengalaman ini tidak bisa langsung dipercaya, kecuali ada penelitian sosiologis tentang itu, tapi terbukti ketika memasuki wilayah Suriah melalui perbatasan darat Yordania, keramahtamahan penduduk setempat langsung terasa.
Sebuah pemandangan yang kontras dengan berita-berita nasional mengenai Suriah saat itu yang dipenuhi dengan berita kekerasan majikan kepada pembantu rumah tangganya, baik dari Asia maupun Afrika.
Memasuki Suriah, hamparan pertanian di Daraa dan As-Sweida begitu indah. Penduduk yang lalu lalang dengan wajah ceria menuju pertanian mereka.
Tidak seperti wilayah lainnya, penduduk Suriah tidak alergi dengan warga asing, setidaknya yang terlihat saat itu, walaupun si pendatang itu berwajah Asia. Sekumpulan anak-anak tetap cuek dan melompat kegirangan menikmati indahnya permainan sesama mereka. Aman dan nyaman.
Suriah tidak terlalu panas, kecuali wilayah Deir-ez-Zor dan kawasan perbatasan dengan Irak. Mungkin karena itu mereka kelihatan sangat ramah, dibandingkan mereka yang tinggal di pandang pasir dengan suhu mencapai 50 derajat; bawaan diri ingin selalu marah. Tapi ini bukan Kuwait atau Dubai.
Negara ini mempunyai batas pantai dengan Laut Mediterania yang membuatnya selalu sejuk dengan angin sepoi-sepoi. Di Musim salju, hamparan warna salju putihnya terlihat bak permadani. Menyambut kedatangan setiap tamu dengan senyum dan kedamaian.
Seorang warga yang ditanya mengenai arah jalan, langsung mengajak singgah di rumahnya. Padahal dia tidak tahu siapa kita yang bertanya. Bisa saja berniat jahat.
Kecuali Damaskus, pemandangan kehangatan dan kesejahteraan masyarakat Suriah hampir sama. Aleppo, Latakia dan lain-lain.
Damaskus merupakan ibukota. Penyakit sosial ibukota lebih kurang hampir sama di sebagian besar dunia. Individualisme, politik, materialisme dan lain-lain.
Di Damaskus, saat itu, setiap orang, khususnya di pusat keramaian dan perbelanjaan, terlihat seperti berjalan congkak bersama keluarganya. Diikuti satu atau dua orang pembantu rumah tangga mengikut dari belakang.
Cara berpakaian pembantu itu sangat kontras terlihat menjadi pembeda. Ada yang mendandani pembantunya dengan baju dinas ala 'house maid', ada dengan aksesoris mentereng, bermacam-macam.
Warga ibukota memang mementingkan prestise.
Setahun kemudian, terdengar berita mereka yang makmur itu melakukan demontrasi mengikuti demam Mesir dan Tunisia. Mungkin ada yang tersembunyi di masyarakat itu selama ini atau karena politik global, ntahlah.. negara ini dengan cepat luluh lantak.
Lalu kemaren, Rabu (23/10) CBS News merilis berita; anak-anak Suriah sudah mulai terpaksa bekerja untuk menghidupi keluarga. Astagfirullah..!