REPUBLIKA.CO.ID, Tindak pidana narkotika psikotropika dan bahan adiktif (narkoba) telah masuk ke dalam salah satu kejahatan luar biasa atau "extraordinary crime" selain terorisme dan korupsi karena dampaknya yang begitu berbahaya, sehingga bisa merusak generasi suatu bangsa.
Bahkan, tindak pidana narkoba telah dianggap sebagai kejahatan transnasional dengan melibatkan sindikat internasional yang terorganisasi secara rapi dan merekrut pengedar, bukan hanya berasal dari satu negara, tetapi lintas benua. Bisa dikatakan kejahatan narkoba tersebut telah terkonspirasi atau terencana dalam permufakatan jahat.
Menurut Brigadir Jenderal (Pol) Jeanne Mandagi, permufakatan jahat merujuk pada kejahatan terorganisasi atau "organized crime" teristimewa yang mempunyai jaringan luas.
"Dalam hal tindak pidana narkotika, bukan saja ke pengecer atau pengedar dan bandar kecil, tetapi ke bandar besarnya," katanya.
Jeanne menyebutkan permufakatan jahat terdiri atas tiga jenis, yakni konspirasi rantai (chain conspiracy), konspirasi roda (wheel conspiracy) dan konspirasi enterprise (enterprise conspiracy).
Konspirasi rantai adalah permufakatan jahat antara dua orang atau lebih untuk bersama-sama melakukan tindak pidana, semua peserta konspirasi harus bersama-sama melakukan tindak pidana tersebut.
Sementara itu, konspirasi roda adalah permufakatan jahat antara dua orang atau lebih yang bersama-sama sepakat akan melakukan kejahatan itu.
"Berarti mereka baru dihukum jika semua orang tersebut saling mengetahui dan setuju bersama-sama akan melakukan tindak pidana tersebut walaupun secara fisik tidak serentak bersama-sama, seperti tercantum dalam pasal 88 KUHP," katanya.
Lebih lanjut dia menerangkan, konspirasi enterprise atau korporasi, yakni permufakatan jahat antara dua orang tau lebih yang bersekongkol untuk melakukan, membantu, memfasilitasi, memberikan konsultasi untuk menjadi anggota organisasi kejahatan atau mengorganisasikan suatu tindak pidana.
"Dalam 'enterprise conspiracy', para pelaku tidak perlu saling kenal atau semua setuju secara bersama-sama melakukan tindak pidana, cukup ada persetujuan untuk menjadi anggota dari kelompok kriminal tersebut," katanya.
Jeanne menjelaskan, 'enterprise conspiracy' termuat dalam Racketeer Influenced Corrupt Organization (RICO) Act yang berlaku sejak 1970 di Amerika Serikat yang kemudian diambil oleh UN Convention against Illict Traffic Narcotic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances pada 1988 yang telah diratifikasi.
Maka, lanjut dia, konvensi PBB (UN Convention) 1988 menjadi bagian dari hukum positif Indonesia dan kemudian dimasukkan ke dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Menurut Jeanne, permufakatan jahat tersebut perlu dipelajari oleh para penyidik untuk kemudian diaplikasikan dalam Pasal 132 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika karena dinilai sebagai suatu ketentuan yang ampuh untuk memberantas tindak pidana narkoba.
Karena sifatnya yang terorganisasi, permufakatan jahat dalam tindak pidana narkotika juga perlu dicermati karena berpotensi berkaitan dengan tindak pidana lainnya.
Kaitannya Dengan Pencucian Uang
Advokat Djoko Sarwoko menjelaskan hukum tindak pidana narkotika termasuk dalam kategori yang bermotifkan "economic gain" atau menghasilkan keuntungan ekonomi, terlebih dilakukan oleh korporasi atau organisasi kriminal atau sindikat.
"Dapat dipastikan akan bersinergi dengan tindak pidana pencucian uang untuk mengaburkan hasil kejahatannya tersebut,? katanya.
Untuk itu, dia mengatakan, diperlukan koordinasi antarlembaga penegakan hukum dalam menangani permufakatan jahat dalam tindak pidana narkoba dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Karena, memang hasil tindak pidana narkotika sangat menjanjikan keuntungan yang sangat besar," katanya.
Untuk itu, mantan hakim agung tersebut meminta penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN), Polri bekerja sama dengan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta perbankan untuk menelusuri transaksi keuangan yang dilakukan oleh pelaku baik individu maupun korporasi dengan menggunakan pendekatan "follow the money".
"Dari penelusuran dan hasil analisis dari PPATK, maka akan diketahui aliran dana atau transfer dan siapa pelakunya apakah individu atau korporasi," katanya.
Djoko menambahkan, jika pelakunya adalah korporasi, maka perlu diteliti lagi siapa yang bertanggung jawab apakah pengurus korporasi, pengendali atau orang yang melaksanakan perintah untuk dan atas nama yang berbasis kepentingan korporasi atau "corporate liability".
Penyidikan kekayaan tersebut, lanjut dia, perlu dikembangkan jika hasilnya signifikan, harus ditelusuri ke mana saja transaksi keuangannya dengan minta laporan hasil harta kekayaan anak beserta istrinya seperti dalam pasal 97 dan 98 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
"Atau adakah kemungkinan bahwa hasil kejahatan narkotika tersebut dipergunakan untuk mendanai kegiatan terorisme," katanya.
Menurut dia, hal itu perlu dicermati karena besar kemungkinan hasil kejahatannya dipergunakan untuk membantu kegiatan teror, terutama jika pelaku utama adalah korporasi, bandar narkotika, sindikat atau organisasi kriminal.
Payung Hukum Penanganan
Dalam penanganan kejahatan narkoba dan TPPU, proses hukum tersebut terbentur undang-undang yang belum mengatur kasus tersebut secara satu atap, yakni terpisah antara Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan danPemberantasan Tindak Pencucian Pencucian Uang
Djoko berpendapat dakwaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus narkoba dapat disusun dalam bentuk subsidaritas karena undang-undang yang ada masih berbenturan terkait kewenangan penyidik untuk menangani kedua kasus yang berbeda namun berkaitan tersebut
"Dalam Pasal 137 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur tentang minimum khusus, sedangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tidak mengatur hal itu," kata dalam diskusi yang bertajuk "Permufakatan Jahat dalam Tindak Piana Narkotika dan Tindak Pidana Pencucian Uang" di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis (21/11).
Djoko menjelaskan sebetulnya Pasal 137 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika secara substansial mengandung unsur-unsur yang serupa dengan unsur-unsur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan danPemberantasan Tindak Pencucian Pencucian Uang.
"Karena itu, dakwaan TPPU dapat disusun dalam bentuk subsidaritas dakwaan pencucian uang dahulu karena BNN memperoleh menyidik TPPU berdasarkan Pasal 74 UU No.8 Tahun 2010, kemudian subsidernya Pasal 137 UU No.35 Tahun 2009," katanya.
Sehingga, lanjut dia, penyidik BNN tetap dapat melakukan penyidikan TPPU yang diduga melanggar Pasal 137 (a) dan (b) UU No.35 Tahun 2009.
"Dari aspek sejarah, mengapa pembentuk UU mencantumkan Pasal 137 untuk mengantisipasi seandainya Pasal 74 UU No.8 Tahun 2009 tidak mengatur kewenangan penyidik tidak pidana asal (BNN) melakukan penyidikan TPPU," katanya.
Menurut dia, meski termasuk dalam TPPU, hasil kejahatan narkotika yang dikaburkan melalu pencucian uang, sasaran subjeknya tidak seluas yang diatur dalam Pasal 3 UU No.8 Tahun 2010.
"Rumusan delik Pasal 3 UU TPPU No.8 Tahun 201 dikatakan lebih luas sasaran subjeknya karena mengandung frasa 'yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat 1, terdapat 26 jenis tindak pidana termasuk narkotika," katanya.
Dia mengatakan Pasal 137b UU No.35 Tahun 2009 yang telah diadopsi dalam Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 berisi ancaman pidana yang lebih berat, yakni penjara paling lama 20 tahun dengan denda paling banyak Rp5 miliar dan jika denda tidak dibayar, maka diganti dengan kurungan selama satu tahun empat bulan.
"Lebih berat jika dibandingkan UU Nomor 35 Tahun 2009 yang tunduk pada Pasal 30 Ayat 6 KUHP yang mengatur pidana kurungan pengganti tidak boleh dari delapan bulan," katanya. (Juwita Trisna Rahayu)