Senin 27 Jan 2014 16:20 WIB

RSI di Gaza Diserahkan Maret

Pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Gaza
Foto: MerC
Pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Gaza

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hafidz Muftisany

RSI di Gaza sudah bisa mengoperasikan UG

JAKARTA – Bangunan fisik Rumah Sakit Indonesia (RSI) di Gaza, Palestina, direncanakan akan selesai pada Maret 2014. Tapi, selesainya bangunan fisik belum sepenuhnya membuat RSI di Gaza bisa berjalan.

Presidium Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) Joserizal Jurnalis mengatakan, instalasi fisik berupa gedung, listrik, pendingin ruangan, dan gas sudah selesai. "Direncanakan, Maret kita serahkan kepada rakyat Palestina," ujarnya saat dihubungi Republika, Ahad (26/1).

Jose menerangkan, peralatan medis masih belum banyak. Setelah penyerahan kepada rakyat Palestina, MER-C akan melakukan kampanye untuk bantuan peralatan medis.

Menurutnya, angka bantuan peralatan medis justru lebih besar dibanding bantuan pembangunan fisik. Pembangunan gedung menghabiskan dana Rp 40 miliar, sedangkan untuk peralatan medis dibutuhkan dana Rp 65 miliar.

Meski belum sempurna, saat diserahkan nanti RSI di Gaza sudah bisa mengoperasikan Unit Gawat Darurat (UGD), satu atau dua ruang operasi, 10 tempat tidur, dan satu poliklinik.

Pihaknya masih membutuhkan peralatan, seperti CT scan, instalasi ruang ICU, peralatan laboratorium, dan penambahan tempat tidur untuk perawatan.

Menurut Jose Rizal, MER-C sudah berkomitmen akan terus mendampingi operasional RSI hingga peralatan medisnya lengkap.

Di sisi lain, operasional RSI nantinya akan diserahkan sepenuhnya kepada rakyat Palestina. Sesuai dengan cita-cita awal, prinsip RSI adalah bantuan dari rakyat Indonesia untuk rakyat Palestina.

Teknisnya, kata Jose, nanti akan dibentuk kepengurusan rumah sakit yang sepenuhnya diisi orang Palestina. "Syaratnya, harus berisi faksi-faksi di sana.”

Untuk itu, pihaknya sudah menjalin komunikasi dengan faksi-faksi di Palestina, utamanya Gaza. Hamas, Fatah, dan Jihad Islami sudah menyambut seruan ini. Tapi, untuk penanggung jawab tetap akan diserahkan kepada otoritas pemerintahan di Gaza.

Untuk mengimbangi, pihaknya juga menjalin komunikasi dengan Duta Besar Palestina di Indonesia yang berafiliasi dengan pemerintahan di Tepi Barat. “Jika mereka tak bisa bersatu secara politik, minimal dalam bidang kesehatan.”

Sementara, untuk tenaga kesehatan, dokter dan perawat lokal memiliki kompetensi yang cukup untuk menjalankan RSI.

Meski secara kuantitas Jose mengakui jumlah tenaga kesehatan asal Palestina masih kurang. Pada masa damai, kebutuhan tenaga medis mencukupi. Tapi, di saat perang sangat kurang.

Di lain pihak, Ketua Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina (Kispa) Ferry Nur mengatakan, saat ini kebutuhan pokok berupa bahan makanan sangat diperlukan warga Gaza.

Blokade yang belum dicabut pemerintah Zionis-Israel sejak 2008 diperparah dengan dihancurkannya terowongan-terowongan oleh militer Mesir.

Padahal, ungkap Fery, terowongan tersebut digunakan untuk menyalurkan bahan makanan pokok untuk warga Gaza. "Urat nadi perekonomian juga ikut hancur."

Selain bahan makanan pokok, bahan bakar minyak (BBM) juga sangat diperlukan. Instalasi, seperti rumah sakit pun tidak akan beroperasi jika suplai BBM tidak ada. Hal ini dikarenakan sumber listrik di Gaza menggunakan generator berbahan bakar minyak.

Hampir seluruh permukiman, fasilitas umum, dan ibadah sangat bergantung pada suplai BBM untuk penerangan. Dengan dihancurkannya terowongan yang menjadi jalur lalu lintas BBM, Gaza menjadi kota gelap.

Ferry menerangkan, setelah banjir yang menerjang Gaza, warga memerlukan bahan material. Banjir yang pertama kalinya terjadi ini membuat banyak insfrastruktur hancur. Sebagai daerah yang terisolasi, bantuan berupa material sangat dibutuhkan warga untuk kembali membangun rumahnya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement