REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendesak kasus pemerkosaan yang menimpa gadis 14 tahun di Lampung Timur tetap harus dilanjutkan ke peradilan.
Pemberian uang dari pelaku tindak pidana terhadap korban tidak bisa dijadikan sebagai tanda perdamaian dan dasar bagi penegak hukum untuk menghentikan pengusutan.
"Uang yang diberikan pelaku untuk biaya pengobatan korban maupun pemakaman bila korban meninggal dunia merupakan hak restitusi korban. Bahkan tuntutan hukuman pidana selain penjara, bisa ditambahkan dengan tuntutan restitusi," ujar Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, di Jakarta, Rabu (29/1).
LPSK sendiri siap melindungi korban. Terutama, mengingat salah satu pelaku merupakan anggota legislatif. "Ini dapat menyebabkan posisi korban sangat rawan mendapat ancaman baik fisik maupun hukum. LPSK siap memberi perlindungan dan rehabilitasi medis dan psikologis terhadap korban,” kata Abdul Haris.
Seperti diberitakan, seorang gadis asal Lampung Timur menjadi korban pemerkosaan 15 pria, termasuk di antaranya seorang anggota DPRD setempat, pada Desember 2013. Akibatnya, korban mengalami kebusukan rahim sehingga organ reproduksinya harus diangkat.
Pada 22 Januari 2014, remaja 14 tahun itu melaporkan tindak pidana tersebut ke Polda Lampung. Pada perkembangan selanjutnya, anggota dewan berinisial KI, yang juga pelak, memberi uang Rp 2 juta kepada korban agar tidak melanjutkan kasusnya.
Abdul Haris menilai kasus tersebut merupakan salah satu contoh pemahaman keliru bahwa uang yang diberikan dari pelaku sampai saat ini masih dianggap uang perdamaian. Parahnya, 'perdamaian' seringkali difasilitasi oleh aparat penegak hukum dengan modus cabut perkara. "Padahal seharusnya uang tersebut memang hak korban dan kewajiban pelaku. Terkait dengan proses pidana, sudah seharusnya berlanjut," ujarnya.