REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembebasan bersyarat terpidana narkoba asal Australia, Schapelle Leigh Corby menuai pro dan kontra. Adanya pengurangan hukuman berupa grasi lima tahun dari presiden dan berbagai remisi membuat warga negara Australia itu dapat lebih cepat mengajukan pembebasan bersyarat.
Anggota Komisi III DPR RI Martin Hutabarat menyoroti adanya pemberian grasi kepada Corby. Ia mengatakan, grasi merupakan hak prerogatif presiden dengan berbagai pertimbangannya. Namun, ia menilai, pemberian grasi itu harus lebih dicermati. "Ke depan pemberian grasi memang perlu diperketat," kata dia, dalam keterangan persnya, Rabu (12/2).
Menurut Martin, presiden harus lebih selektif dalam memberikan grasi. Khususnya untuk pelaku tindak kejahatan narkotika, terorisme, dan korupsi. Ia menilai, kasus Corby bisa menjadi pelajaran ke depan. Politisi Partai Gerindra itu mengkhawatirkan pemberian grasi terhadap tindak pidana khusus itu bisa menimbulkan kesan negatif di mata masyarakat.
Martin menilai, presiden ke depan harus lebih bijak dalam mengeluarkan grasi. Pun, ia menyebut, perlu perhitungan lebih baik dalam memberikan pengurangan masa hukuman dalam bentuk lainnya. Ia menilai, kejahatan narkotika merupakan tindak pidana serius. Sehingga, pengurangan hukuman melalui grasi harus dicermati. "Nantinya akan semakin banyak pelanggar hukum yang meminta grasi, hal ini tentunya harus dihindari,” kata dia.